PWMU.CO – Ikatan Wali Murid (Ikwam) SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik menggelar Forum Kajian Dakwah Islam (FKDI) di Masjid At Taqwa Perumahan Pongangan Indah (PPI), Senin (14/10/19).
Menghadirkan seorang motivator Evi Silvia, FKDI yang terbuka untuk umum ini juga didukung oleh Ikwam Play Group Tunas Aisyiyah dan TK Aisyiyah 36 PPI. Ada juga stan konsultasi kesehatan gratis dari Rumah Sakit Muhammadiyah Gresik.
Bunda Evi, begitu Evi Silvia akrab disapa, mengingatkan tantangan-tantangan dakwah yang harus dihadapi ke depan sangat banyak. “Kalau kita tahu itu, seharusnya kita saat ini sudah tidak sempat lagi WA-an (WhatsApp),” tegasnya. “Saking banyaknya.”
Menurutnya, hal yang paling penting adalah bagaimana kita menyampaikan, mentransfer, apa yang disampaikan agama kepada anak-anak. “Ini tidaklah mudah,” ujarnya.
Ia menyampaikan, banyak dari kita hanya mengandalkan sekolah-sekolah Islam. Dari play group sampai SMA di sekolah Islam, sepertinya sudah merasa aman. “Kayaknya anak-anak kita ini sudah otomatis jadi shalihah gara-gara sekolah di sekolah Islam. Saya sampaikan ibu-ibu, itu tidak cukup,” tegasnya.
Karena sekolah Islam itu, lanjutnya, bukan pabrik panci yang jika kita masukkan seng, keluar panci. Ia mengatakan, ada beberapa tantangan dakwah yang harus kita upayakan di rumah, yang harus berkolaborasi dengan sekolah dan lingkungan. “Sedangkan lingkungan kita, sekolah ini bermacam-macam latar belakangnya, tergantung dari siapa orangtua yang membawa anak-anak,” jelasnya.
Ia menuturkan, kita sebagai ibu perlu waspada. Bukan hanya mengantar anak-anak sekolah, lalu pergi mengaji, dan selesai. “Karena kondisi kita saat jadi anak-anak dengan kondisi anak-anak sekarang ini jauh berbeda,” tuturnya.
Ia menegaskan, masalah terbesar kita ini adalah kita tidak tahu bahwa itu masalah. Ia bercerita, tahun 2009 sahabatnya menangis tentang anak gadisnya. Ia berpikir jika seorang ibu menangisi anak gadisnya, yang terjadi adalah hamil di luar nikah. “Lalu apa yang terjadi? Ternyata dia cerita, ‘Anak saya masuk ke dunia lesbi’,” ujarnya.
Hal tersebut, untuk kali pertama, membuatnya tidak bisa tidur dan makan karena memikirkan sahabatnya. “Betapa sedihnya ibunya,” ucapnya menggambarkan kekagetan setengah matinya.
Ia melanjutkan, tahun 2010 ada kasus lagi yang datang. Begitu seterusnya hingga tahun 2019. Sekitar sepekan yang lalu, ia bercerita, ada seorang ibu yang mengatakan anaknya lesbi. “Apa reaksi saya? Oh iya,” ujarnya datar.
Ia mengatakan, saking seringnya ini terjadi, reaksinya berbeda, tidak sekaget saat pertama mendengar kasus lesbi pada 2009 silam. “Jadi saking banyak dan sering terjadi, kita tidak sensitif lagi bahwa ini masalah,” ungkapnya.
Bunda Evi juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap orangtua sekarang ini yang sibuk dengan kegiatannya sendiri sehingga kurang sensitif dengan kondisi anaknya. “Ibunya tidak tahu, bapaknya tidak tahu. Ibunya sibuk ngaji thok, jadi tidak sensitif,” ujarnya tegas.
Menurutnya, masalah orangtua saat ini hanya sibuk di sekitar 70 tahunan saja. Energi kita habis di sini, habis mengejar angka. “Kita sibuk menyiapkan calon dokter, calon insinyur, calon ekonom, calon pengusaha, calon entrepreneur, calon pejabat. Sedangkan kita lupa menyiapkan anak-anak menjadi calon istri, calon bapak, calon ibu, calon orangtua, calon menantu,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, orangtua melihat anak-anak sibuk dengan tugas kuliahnya, sibuk les, sibuk bimbel, membuat mereka marem. Kita tidak menyiapkan bagaimana anak mengontrol emosinya atau bagaimana mereka belajar memaafkan. “Kalau misal anak kita ini nggondokan, ngamukkan, gak apa-apa, pokoknya pinter, menang olimpiade,” ujarnya.
Bunda Evi menuturkan, sibuk kita hanya di sini, padahal tugas kita menghantarkan mereka tahan bagaimana caranya melintasi dunia ini agar selamat di dalam lintasan perjalanan dan sampai di surga. (*)
Kontributor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.