PWMU.CO-Foto jurnalistik merupakan ilustrasi visual suatu peristiwa yang melengkapi berita atau menjadi berita foto sendiri. Untuk mendapatkan foto berita yang baik, fotografer harus memahami teknik pengambilannya.
Hal itu disampaikan oleh Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni pada sesi kedua Pelatihan Menulis Deskriptif sebagai Dakwah Digital dan Marketing Sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo, Kamis (24/10/20190.
Peserta pelatihan sebanyak 37 guru sekolah Muhammadiyah-Aisyiyah Sepanjang, Waru, Krian dan Kemlaten. Acara ini atas kerja sama PCM-PCA Sepanjang, Smamita, dan Lembaga Iinformasi dan Komunikasi (LIK) PWM Jatim.
Nurfatoni menjelaskan, foto jurnalistik itu bisa mewakili seribu kata. ”Jadi tanpa menuliskan berita, pembaca sudah bisa merasakan suatu peristiwa dengan melihat detail objek foto,” katanya.
Foto juga berfungsi sebagai wajah berita, sambungnya, karena itu tampilannya harus menarik, mengabadikan peristiwa yang dinamis. Dia lalu menunjukkan foto selfi beberapa orang mejeng usai acara. ”Ini foto statis, tidak layak muat karena tidak menggambarkan sebuah peristiwa,” katanya sambil menunjukkan foto hasil jepretannya saat Presiden Jokowi diajak selfie para peserta Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu beberapa waktu lalu. “Foto ini hasil perjuangan menghindari halauan Paspampres.”
Untuk mendapatkan foto yang bagus, dia menjelaskan, fotografer harus bisa mengatur posisi, mengambil momen yang pas. Jangan malu-malu kalau mau memotret. Fotografer itu harus aktif mencari angle yang baik,” ujarnya.
Foto untuk berita media online seperti PWMU.CO, kata dia, punya syarat karena menyesuaikan template website. Syarat lainnya, pengambilan gambar yang baik dengan memperhatikan komposisi dan pencahayaan.
”Foto untuk PWMU.CO harus bentuk horizontal karena desain template sudah begitu. Jika dikirimi foto vertikal, redaktur kesulitan cropping karena ada bagian objek foto yang terpotong,” kata Fatoni sambil menunjukkan foto ilustrasi berita yang terpaksa dipotong kepalanya karena fokus posisi tangan yang ditonjolkan.
Fotografer sekarang kebanyakan memakai HP, ujar dia. Karena kamera HP ada keterbatasan maka harus paham tekniknya. Misalnya, jangan mengambil objek dari jarak jauh. Ketika di-cropping, ukuran foto jadi kecil akibatnya gambar pecah.
”Untuk itu fotografer harus berani maju mendekati objek foto. Bukan motret dari belakang orang. Jika tidak begitu hanya dapat foto punggung dan kepala yang tak layak dimuat,” paparnya.
Foto media online komposisi objek foto juga harus pas di tengah. Jarak tepi atas dengan objek jangan terlalu dekat. Tujuannya saat share link, tampilan foto di halaman digital jadi utuh, tidak terpotong atau kosong.
Kamera HP juga tidak bisa mengatur pencahayaan. Maka fotografer harus mencari posisi paling pas untuk menghindari cahaya terang di belakang. ”Jika malas mencobai posisi yang pas, pasti hasil backlight. Cahaya putih dominan sehingga objek foto jadi gelap,” tandasnya.
Setelah menjelaskan teknik fotografi, Nurfatoni masuk ke share berita media online agar viral. ”Media online ditentukan oleh berapa banyak orang mengklik berita. Untuk itu diperlukan menyebarkan berita ke semua jaringan medsos agar viral,” tuturnya.
Tanda paling gampang berita itu viral bisa dilihat dalam tampilan searching Google masuk dalam urutan berapa. ”Berita yang muncul di urutan awal tandanya paling banyak dicari,” ujarnya. ”Kalau tidak di-share maka berita itu tidak dibaca sehingga tenggelam dalam dasar Google,” tegasnya.
Karena itu setelah menulis dan dimuat jangan lantas puas, sambung dia, tugas berikutnya share berita ke rekan, grup WA, Facebook, Twitter, medsos lainnya agar dibaca orang. ”Inilah jihad dakwah digital itu,” katanya.
Para kontributor yang guru, ujar dia, semestinya beritanya berpeluang viral karena bisa menyerukan murid dan wali murid untuk membuka berita itu. ”Kelompok lain melakukan itu dengan semangat militan mewajibkan para santri membuka berita online-nya, kenapa kita tidak,” ujarnya. (*)
Penulis Desy Kartika Editor Sugeng Purwanto