Kecuali itu, ada kebohongan yang juga agak ilmiah; tidak memakai data, tapi membuat pernyataan terbuka. Sepuluh tahun yang lalu ada seorang tokoh yang menyatakan tanpa data bahwa ormasnya memiliki 45 juta anggota. Tiga tahun kemudian, tokoh lain yang menggantikan menyebut angka 60 juta. Ini berarti ada tambahan anggota baru 15 juta dalam masa tiga tahun. Mungkin saja, lima tahun yang akan datang sudah menjadi 80 juta, dan sepuluh tahun lagi 110 juta. Percaya? Ini cerita lain.
Ada cerita lain lagi. Seorang tokoh organisasi perempuan membuat pernyataan bahwa organisasinya memiliki 400 rumah sakit. Orang awam bisa jadi percaya bahwa 400 rumah sakit itu benar-benar rumah sakit dan benar-benar miliknya. Percayakah? Masih ada tambahan lagi: sebuah ormas mengaku punya 21.600 pesantren. Percaya?
(Baca: Potret Warga Muhammadiyah: Rasional yang Tak Rasional dan Haji Abdul Mughni: Gule Lahirkan Profesor)
Tapi untung masih ada orang yang kritis. Mereka bertanya apa makna memiliki dalam kalimat itu. Bisa jadi, memiliki bermakna mengaku memiliki, sehingga tidak diperlukan data legal yang bisa dipercaya. Mungkin juga angka-angka disebut untuk membuat kesan besar padahal tidak berdasarkan data. Walhasil, banyak yang tertipu dengan angka-angka itu.
Orang yang tidak memahami watak orang Indonesia mungkin percaya terhadap pernyataan-pernyataan itu. Orang asing banyak yang menganggap angka-angka itu betul-betul riil. Mereka tidak tahu bahwa di Indonesia banyak pembohong yang kalau ditanya dari mana angka itu didapat, akan menjawab, ”kalau tidak percaya, silahkan hitung sendiri.”
(Baca: Akankah Muhammadiyah Jadi Sisifus? dan Risalah Prof Syafiq Mughni: Kisah Teladan Nur Muhammad)
Saya pernah mendengar pepatah Tionghoa. Pepatah itu menyatakan, “Setelah kebohongan diulang seribu kali, maka akan terdengar seperti kebenaran.” Konon, Adolf Hitler, tokoh Nazi dari Jerman dan aktor Perang Dunia II, juga pernah berkata, “Kebenaran adalah kebohongan yang diulang-ulang 1000 kali.” Saya belum tahu pasti apakah pepatah Tiongkok itu mengambil dari Hitler ataukah sebaliknya. Mungkin juga kebetulan sama.
Kata-kata itu, saya yakin, bukan mengajarkan kita agar berbohong, tetapi mengajak agar kita tidak mudah tertipu dengan kebohongan yang diulang-ulang. Tentu, membuat kebohongan 1000 kali itu lebih mudah, tetapi mengingat kemarin bohong apa lebih sulit, kecuali kebohongan yang sudah dirancang dengan baik.
Kata orang bijak, “Anda tidak akan bisa menipu semua orang pada setiap saat.” Pasti akan ada orang cerdas yang bisa membongkar kebohongan dan membedakannya dan kejujuran.
Kolom Risalah ini ditulis oleh Prof Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010-2015 dan 2015-2020