PWMU.CO-Penampilan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di Jateng Bermunajat dan pembukaan OlympicAD 2019 di Semarang, Sabtu (26/10/19), lain dari kebiasaannya.
Malam itu pakai sarung, baju koko, berkalung surban. Tiga pakaian ini jarang dia kenakan di acara resmi Muhammadiyah. Kalau berpeci sudah lazim. Di acara resmi Muhammadiyah dia biasanya pakai celana dan baju batik.
Karena itu saat memberi taushiyah dia mengawali bahasan dengan sarung yang dia kenakan. “Mungkin banyak yang bertanya-tanya pada malam hari ini saya memakai sarung, yang tidak biasa hadir pada kegiatan Muhammadiyah dengan memakai sarung,” ujarnya.
Dia mengatakan, ini merupakan korban dari Ketua PWM Jawa Tengah Pak Tafsir. “Beliau menginstruksikan saya untuk memakai sarung karena seluruh Pimpinan Wilayah dan para jamaah akan mengenakan sarung. Akan tetapi kenyataannya saya agak tertipu,” selorohnya mengundang tawa ribuan jamaah.
Ternyata tidak semua undangan memakai sarung. Alumnus S3 Universitas Gadjah Mada ini lantas bercerita tentang asal muasal sarung dan tradisinya.
Dikatakan, sarung itu bukan spesial dari orang Indonesia. “Sarung masuk ke Indonesia pada abad 14 dibawa oleh saudagar Gujarat yang kemudian masuk ke kawasan penyebaran Islam yaitu pesisir pantai,” ujarnya.
Kalau pergi ke Yaman oleh-olehnya sarung. Di Indonesia sarung itu identik dengan santri yang punya tradisi mengenakan sarung saat mengaji dan shalat.
Tetapi di Mesir, kata Haedar, ke masjid memakai sarung itu dianggap kurang baik. Sebab di Mesir sarung itu pakaian khusus di rumah. Ke masjid harus pakai ghamis. (*)
Penulis Faiz Rijal Izzuddin Editor Sugeng Purwanto