PWMU.CO-Hari ini, 28 Oktober. Dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda. Tempo dulu, 91 tahun yang lalu, dalam pusaran sejarah pemuda jajahan di Hindia Belanda menemukan identitas diri.
Sekat etnis dileburkan. Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Borneo, Jong Islamieten Bond bersatu dalam identitas baru. Bangsa Indonesia.
Pemuda tempo dulu itu kongres dua hari. Mereka memakai Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) di Waterlooplein. Lapangan Banteng Jakarta sekarang. Saat itu keynote speaker Sugondo Djojopuspito, ketua Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Dia bicara pentingnya persatuan.
Hari keduanya di Gedung Oost-Java Bioscoop. Keynote speaker Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Keduanya bicara pendidikan kebangsaan, pendidikan sekolah dan rumah.
Kongres makin mengkristal ketika para pemuda menemukan simbol identitas bangsa. Dari sebuah lagu. Indonesia Raya gubahan komponis WR Soepratman. Tak pelak lagu itu menjadi viral dan populer setelah dinyanyikan di kongres pemuda tahun 1928. Apalagi koran Sin Po memuat beritanya dan mencantumkan teks lagunya. Tak ayal orang sekampung menyanyikannya. Seperti populernya lagu dangdut Sakitnya Tuh di Sini oleh Cita Citata.
Kata Indonesia yang dilahirkan saat itu terus lengket menjadi identitas bangsa hingga saat ini. Tak pernah disoal apakah kata itu tepat tidak secara makna. Tapi secara politik telah mengikat seluruh anak suku sampai merdeka sekarang ini.
Namun masihkah bermakna pesan sejarah Sumpah Pemuda itu bagi generasi milenial sekarang?
Sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Maksudnya, manusia-manusia zaman Perang Dunia II dan manusia pasca-PD II pasti memiliki karakter yang berbeda, meski saling memengaruhi.
Berdasarkan teori itu, para sosiolog membagi manusia menjadi sejumlah generasi. Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca-PD II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y alias Milenial, lalu generasi Z.
Generasi milenial adalah mereka yang sejak kecil dan hingga kini bersentuhan langsung dengan kemajuan teknologi. Mereka membangun citranya sejalan dengan kemajuan teknologi.
Pemuda 1928 dan pemuda milenial hari ini mempunyai suasana dan teknologi yang berbeda. Generasi 1928 pakai teknologi manual. Berkomunikasi butuh waktu lama. Sebar undangan dari rumah ke rumah kalau mau rapat.
Pemuda milenial ada internet. Pakai media sosial dengan banyak pilihan aplikasi. Komunkasi bisa secepat kilat. Rapat bisa lewat grup WA. Ungkap pendapat boleh pilih FB atau Twitter. Mudah sekali diviralkan. Asal diberi tagar dan mau share.
Dari sisi suasana kebatinan, dua generasi ini beda mencolok. Ibarat langit dengan sumur. Pemuda 1928 punya semangat ingin terbebas dari belenggu penjajahan. Pokoknya ingin merdeka. Punya rasa yang sama sebagai bangsa tertindas meskipun beda etnis.
Kongres Pemuda 1928 itu mungkin bisa disebut bonek menyampaikan gagasan kemerdekaan. Ditangkap polisi Hindia Belanda urusan belakangan.
Pemuda milenial hari ini, mempunyai dua sisi kontras. Bangga sekaligus mengelus dada. Bangga karena generasi yang akrab dengan teknologi. Lincah bermedia sosial. Lompatan medsosnya bisa menghasilkan uang miliaran. Status medsosnya bisa memperlihatkan citra diri semakin baik, mengikuti kegiatan di luar negeri, acara kemanusiaan, mengumbar impian. Tapi ada juga sumpah serapah.
Merananya pemuda milenial makin apatis. Individualistis, tidak peka terhadap kondisi sekitar, narsis. Bersatu di dunia maya, gegeran di dunia nyata. Gampang percaya dengan hoax. Ikut menyebarkan kebohongan juga.
Dan beginilah sumpah pemuda milenial. Menjadi Youtuber. Mejeng bisa dapat duit. Tak perlu susah payah. Maka bisakah membayangkan wajah sejarah bangsa dengan sumpah pemuda milenial 2019 seperti ini? Hari ini sudah ada gejalanya. Sejarah ditentukan oleh para buzzer. (*)
Kolom Teguh Imami, penulis adalah pengamat sejarah lulusan Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unair
Editor Sugeng Purwanto