PWMU.CO – Kado perdana Presiden Jokowi untuk rakyat telah resmi tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019. Dalam Perpres mengenai jaminan kesehatan itu, pada pasal 34 memuat kenaikan iuran mencapai seratus persen. Dalam ketentuan kenaikan iuran tersebut juga tersedia “bonus” denda untuk para penunggak iuran.
Pemerintah berdalih kenaikan tersebut semata-mata demi meningkatkan layanan kesehatan untuk masyarakat. Sebagai penerima manfaat terakhir (end user), keberadaan masyarakat selalu dijadikan dalih dalam hampir semua kebijakan pemerintah.
Selain janji layanan lebih untuk masyarakat, pemerintah selayaknya memberikan janji yang sama untuk instalasi-instalasi kesehatan yang berhadapan langsung memberikan layanan kepada masyarakat.
Sudah sering diulas banyak media tentang tunggakan piutang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik mitra. Tunggakan pembayaran piutang yang rata-rata mencapai tiga sampai empat bulan sejauh ini sangat mengganggu cash flow (arus kas) penyelenggara jasa kesehatan.
Sebagian rumah sakit dan klinik mengatasi kesulitan cash flow dengan pinjaman ke bank dan lembaga keuangan lain. Pinjaman ke lembaga keuangan secara otomatis memunculkan beban tambahan berupa bunga atau bagi hasil yang menekan target surplus hingga berdampak defisit atau rugi jika terus berlangsung dalam jangka panjang.
Tekanan arus kas operasional dalam banyak kejadian membuat beberapa layanan kesehatan swasta kecil hampir-hampir dibuat pingsan. Rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik sebagai ujung tombak layanan kepada masyarakat lebih penting untuk diprioritaskan kebutuhannya dalam skema kebijakan tarif yang baru dan berlaku mulai 1 Januari 2020.
Rumah sakit dan klinik selayaknya diposisikan sebagai mitra sejajar untuk bersama-sama mewujudkan gotong-royong dalam menyediakan jaminan kesehatan untuk masyarakat sebagaimana yang selama ini menjadi jargon pemerintah melalui BPJS Kesehatan.
Harapan masyarakat kepada BPJS Kesehatan demikian besar, mengingat BPJS Kesehatan tanpa disadari telah menjadi badan negara yang powerful. Selain BPJS Kesehatan, badan-badan milik negara yang lain seperti Bulog, BNPB, BNN, BPK, BPKP, BPJS Ketenagakerjaan dan sebagainya, hanya BPJS Kesehatan satu-satunya badan negara yang menarik iuran ke seluruh warga negara, bahkan sejak usia 0 tahun.
Golongan masyarakat miskin pun “diwajibkan” membayar iuran melalui mekanisme PBI (penerima bantuan iuran) dari APBD Kabupaten/Kota. BPJS Kesehatan juga diberi daya paksa berupa kewenangan memberi sanksi denda untuk para penunggak iuran.
Demikian powerful-nya BPJS Kesehatan, adalah “wajar” jika tuntutan masyarakat sangat besar. Bukan berarti masyarakat manja jika sakit sedikit kemudian mengajukan klaim dengan berobat di rumah sakit atau klinik mitra BPJS Kesehatan.
Tidak ada manusia “sehat” yang ingn sakit, karena untuk berkunjung ke fasilitas layanan kesehatan pasti mengeluarkan biaya transportasi dan harus meluangkan waktu. Biaya dan waktu bagi sebagian masyarakat usia produktif sangatlah berharga. Maka bukan sebuah sikap manja atau perubahan gaya hidup “melow” jika sejak era BPJS Kesehatan, masyarakat menjadi “rajin” mengunjungi rumah sakit atau klinik.
Sifat iuran yang “wajib” itulah hakekatnya yang mendorong masyarakat “bersemangat” menuntut haknya. Sebuah layanan sosial jamaknya tidak diikuti iuran yang bersifat “memaksa”. Mekanisme layanan sosial untuk kelompok masyarakat kurang mampu selayaknya sebagai kewajiban negara yang diambil dari APBN dan sumber lainnya tanpa harus memungut iuran tambahan selain pajak.
Pajak yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat kategori wajib pajak dengan tingkat penghasilan yang layak salah satu fungsinya dalam teori perpajakan yaitu sebagai alat distribusi kekayaan.
Dalam kenyataannya, golongan masyarakat dengan penghasilan layak tidak terlalu butuh BPJS Kesehatan. Kelompok masyarakat ini seringkali merelakan iurannya dengan memilih layanan kesehatan non-BPJS demi mendapatkan layanan berkualitas. Lantas di mana masalahnya hingga BPJS Kesehatan selalu defisit? Tugas pemerintah bersama elemen masyarakat peduli layanan kesehatan untuk melakukan invstigasi masalah.
Muhammadiyah yang telah berpengalaman sejak tahun 1920 menyelenggarakan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) perlu dilibatkan dalam mengurai benang kusut BPJS Kesehatan.
Sejak era PKO tahun 1920 Persyarikatan Muhammadiyah mengelola amal usaha dengan semangat Alma’un, gotong-royong dan menumbuhkan kesadaran swadaya masyarakat. Sejak tahun 1920 hingga sebelum era BPJS Kesehatan amal usaha kesehatan Muhammadiyah senantiasa menjadi rujukan layanan kesehatan swasta yang berorientasi nonprofit namun mampu eksis.
Persyarikatan Muhammadiyah/Aisyiyah dengan amal usaha kesehatannya sebagai salah satu pihak yang sempat di untungkan tapi sekaligus ikut tertekan dengan hadirnya era BPJS Kesehatan.
Namun demikian sebagai insan beriman harus mengimani salah satu Firman Allah SWT dalam surah Asy Syarh ayat 6 yang artinya: “Bersama kesulitan ada kemudahan (innama’al usyriyusran)” selayaknya menjadi pedoman hidup manusia khususnya umat Islam dalam menghadapi masalah.
BPJS Kesehatan yang niat awalnya baik selayaknya dikelola lebih baik dan serius melalui serangkaian kajian mendalam. Wallahu’alam bishawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Anggota Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.