PWMU.CO – Apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat pelantikan Kabinet Maju 2019-2024 menunjukkan bahwa radikalisme masih menjadi sorotan utama pemerintah dalam lima tahun ke depan.
Empat kementrian mendapat tugas khusus untuk memberantas radikalisme ini. Yaitu Menko Polhukam, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Agama.
Yang menarik, dari keempat lembaga tersebut, tiga dipimpin oleh jenderal berlatar belakang militer. Yang dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat, penanganan radikalisme akan tetap seperti yang selama ini berjalan dengan pendekatan keamanan.
Namun, mengamati wawancara Jenderal Fachrur Razi, Menteri Agama, pada salah satu stasiun televisi nasional pada 23 Oktober 2019 petang, rasanya kekhawatiran seperti di atas tidak akan terjadi. Dalam kesempatan ini, menteri akan menekankan dialog dalam mengurangi kecenderungan sikap radikalisme.
Siapa kaum radikalis itu?
Pertanyaan ini penting dijawab untuk menakar batasan yang bisa dijadikan rujukan sebelum pemberantasan radikalisme itu dilakukan.
Radikalisme ada dua macam: pemikiran atau ide dan gerakan. Radikal pemikiran atau ide ditandai oleh sikap non-kompromis terhadap ide dan pikiran orang lain. Ada kecenderungan memaksakan ide dan pikiran sendiri untuk diterima orang lain.
Radikalisme pemikiran didasarkan pada keyakian tentang nilai, ide, dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang yang dinilainya sebagai yang paling benar dan menganggap yang lain salah.
Orang yang memiliki pandangan ini sangat tertutup, biasanya sulit berinteraksi dan hanya saling berbicara dengan kelompok sendiri. Otoritas pengetahuan yang dimilikinya bersumber dari figur tertentu yang dinilai tidak dimiliki oleh orang lain. Karena itu, biasanya kaum radikal tidak menerima figur lain sebagai sumber rujukan pengetahuannya.
Di sini berlaku prinsip. “Lihatlah orang yang mengatakan, jangan melihat apa yang dikatakan.” Dalam dialog biasanya ia tidak ingin memahami keanekaragaman pendapat yang dimiliki orang lain, tetapi ingin menyatukan pandangan yang berbeda itu dengan pandangan dan pendapat menurut standar diri sendiri, bahkan dengan memaksakan kehendak.
Sedang radikalisme tindakan dan gerakan ditandai oleh aksi ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah suatu keadaan seperti yang diinginkan. Dalam politik, hal ini bermula dari perasaan tidak bisa turut serta dalam memecahkan persoalan diri.
Persoalan diri sendiri tapi orang lain yang memecahkannya; dari sini kaum radikalis biasanya menarik diri dan isolatif dari keterlibatan kehidupan publik, reaktif dalam merespon persoalan, dan sering menggunakan kekerasan dalam mengatasi atau memecahkan persoalan.
Contoh gerakan yang dikategorikan sebagai radikal adalah tindakan makar, revolusi, demonstrasi dan protes sosial yang anarkis, serta berbagai aksi kekerasan yang merusak. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikalis sesungguhnya juga didorong oleh motif ajaran serta nilai yang diyakinnya. Di sini pentingnya Menteri Agama mendorong diadakannya dialog dalam mengatasi radikalisme ini.
Radikalisme sesungguhnya ditemukan di mana-mana. Ada di umat beragama dan kaum sekuler, kaum nasionalis dan globalis, konservatif maupun liberal, tradisional maupun modernis, Muslim maupun non-Muslim, pendukung rezim penguasa maupun kaum oposisi.
Apabila masing-masing tidak saling mengenal atau tidak menerima ide maupun pikiran satu sama lain, di situlah sikap radikal itu muncul. Karena masing-masing biasanya mempertahankan kebenaran pandangan dan pikiran sendiri. Keduanya juga saling menyalahkan satu sama lain tentang pikiran yang ada pada diri masing-masing.
Di antara ciri radikalisme adalah polisentrisme, ada dalam kepemimpinan yang beragam dan tidak menyatu dalam satu kepemimpinan; bersifat lokalistik untuk merespon persoalan setempat yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam kaitan ini antara FPI (pimpinan Habib Rizieq Shihab) dan Laskar Jihad (pimpinan Ja’far Umar Thalib, almarhun) merefleksikan kedua karakteristik di atas. Selain itu, sikap persisten, tahan menghadapi rintangan dan ancaman dalam memperjuangkan keyakinannya, meskipun akibatnya menimpa dirinya, merupakan ciri lain yang ditemukan dalam diri kaum radikalis.
Amrozi cs mewakili kelompok ini. Mereka tidak gentar sedikit pun menghadapi hukuman mati dalam memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini. Bagi mereka, tidak ada pilihan lain untuk “tobat” dan sadar, sebagaimana yang dikehendaki oleh sebagian orang.
Namun, kasus di Indonesia, pihak yang diposisikan sebagai kelompok radikal, terutama pemikiran atau ide, biasanya selalu diarahkan pada kelompok agama, tradisionalis, konservatif, puritanis, dan nasionalis, yang dinilai menolak setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Padahal, jika diamati, kelompok modernis, liberalis, sekularis, dan globalis juga tidak kalah ngotot-nya dalam mempertahankan dan memaksakan pikiran mereka kepada orang lain. Masing-masing, sebenarnya, merasa bahwa apa yang dimilikinya sebagai suatu kebenaran yang harus diterima dan diikuti oleh orang lain.
Kelompok yang disebut terakhir ini diuntungkan dengan fasilitas media cetak maupun elektronik dalam mensosialisasikan ide dan gagasan mereka. Dalam kasus dukung-mendukung calon presiden pada kampanye pemilihan Presiden 2019 yang lalu, betapa kelompok liberal maupun konservatif saling membenarkan pendapat dan pandangan serta sikap masing-masing dan saling menyalahkan satu sama lain.
Karena itu dalam melakukan dialog sebagai salah satu pilihan untuk meredam fenomena radikalisme hendaknya memperhatikan tiga hal: radikalisme tidak hanya gerakan tetapi juga muncul dalam pemikiran, ekspresi radikalisme muncul dalam orientasi ideologi dan penomena yang beragam dan, masing-masing pihak mengukur nilai kebenaran hanya ada pada diri masing-masing. (*)
Kolom oleh Prof Ahmad Jainuri, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.