PWMU.CO – Brunei Darussalam, yang berarti Brunei wilayah yang damai, adalah negara yang menarik! Maka, Keluarga Alumni Masjid Universitas Airlangga (KA-MUA) menjadikannya sebagai tujuan rihlah pada 25-27 Oktober 2019 lalu.
Ini bukan rihlah yang pertama, tapi “Perjalanan kali ini luar biasa. Banyak yang kami dapat, perpaduan wisata religi, sejarah, budaya, dan ilmu,” kata Afri Asiati, salah seorang peserta yang sehari-hari tinggal di Kamal, Bangkalan, Pulau Madura.
KA-MUA, beranggotakan lulusan Universitas Airlangga dan dulu aktif berkegiatan dakwah. Mereka, saat kuliah, memakmurkan masjid kampus yang terletak di Kampus B, Jalan Airlangga Surabaya.
Di antara pilihan media silaturahmi KA-MUA adalah rihlah berjamaah. Misalnya, ke Malaysia pada 1-3 Desember 2017 dengan peserta 43 orang. Kali ini, 25-27 Oktober 2019 ke Brunei dengan peserta 16 orang.
Sesuai jadwal, berangkat bersama Royal Brunei pada Jumat (25/10/19) pukul 06.15 WIB Lewat fasilitas di pesawat, penumpang dipandu memanjatkan doa safar lengkap. Serasa sedang berangkat umrah. Begitu kesan yang muncul.
Setelah sampai di Bandar Seri Begawan, dengan bus wisata, rombongan menyusuri Ibu Kota Brunei yang memiliki luas 100.36 km² (bandingkan, misalnya dengan luas Sidoarjo yang 719.63 km²). Kota kecil itu kian lengang sebab hari Jumat adalah hari libur resmi.
Sekitar 10 menit, sampai di Kantor Perdana Menteri dari sebuah negeri dengan luas 5.765 km². Bandingkan, misalnya, dengan luas Jawa Timur yang 48.039 km².
Berikutnya, ke Masjid Sholihin. Interior, meniru masjid di Andalusia saat jaya. Ada taman dan air mancur di tengah-tengah masjid. Atap transparan di atas air mancur, dapat digerakkan: buka-tutup. Teduh dan asri. Rombongan berkesempatan shalat Dhuha.
Menjelang shalat Jumat, rombongan sudah siap di Masjid Jami Hassanal Bolkiah, yang dibangun pada 1992 oleh Sultan ke-29 itu. Fisik masjid menawan, berhias air mancur—di luar maupun di dalam—kaca hias aneka warna, lampu gantung nan elok di sana-sini, dan mozaik-mozaik keramik yang indah. Kubah-kubahnya, berlapiskan emas murni.
Ada hal menarik. Bacaan bilal—yang antara lain nasihat agar jamaah diam dan khusyuk menyimak khutbah, berdasar riwayat Abu Hurairah RA—disampaikan dalam bahasa Indonesia (baca Melayu). Benar, dalam bahasa Melayu dan bukan dalam bahasa Arab. Lalu, khatib juga menyampaikan khutbah, juga dalam bahasa Melayu.
Setelah makan siang, rombongan ke Universiti Brunei Darussalam (UBD). Pada laporan bertahun 2018, UBD ada pada urutan 323 terbaik dunia.
Sore, ke Taman Kristal. Dikenal sebagai “Crystal Arch”, ini salah satu landmark Brunei. Telihat struktur yang megah, melengkung, tumpuan replika berlian sangat besar. Kolomnya dihiasi ubin mosaik emas kecil-kecil. Letaknya, di bundaran, persis di seberang Taman Bermain Jerudong.
Meski tak bermalam di “The Empire Hotel & Country Club” rombongan lalu menuju ke sana. Hotel mewah dengan berbagai fasilitas olahraga dan rekreasi itu, rupanya juga berfungsi sebagai destinasi wisata. Antara lain, di dalamnya ada pemandangan pantai karena bagian belakang hotel langsung menghadap ke Laut Cina Selatan. Kami menikmati senja, saat secara perlahan matahari terbenam. Indah!
Rombongan shalat jamak qashar Maghrib-Isya’ di Masjid Kampung Tamoi, di Brunei Muara. Di situ ketemu Dr Anis Malik Thoha yang baru sepekan di Brunei untuk berkhidmat sebagai dosen di Universiti Sultan Syarif Ali.
Sebelumnya, beliau adalah rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Lelaki yang lahir di Demak pada 1964 ini penulis buku Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Buku ini—yang merupakan pengembangan, penajaman, dan penyegaran dari disertasinya—dinobatkan sebagai yang terbaik non-fiksi pada Islamic Book Fair Award ke-5, 2007.
Sesudah makan malam di sebuah restoran, rombongan, terkhusus yang wanita, karena keterbatasan ruangan, mendapat siraman ilmu dari Dr Anis Malik Thoha. Seperti yang dicatat Lila Muntadzir, salah satu peserta, beliau antara lain menyampaikan:
Pertama: sila ke Brunei, ada peluang besar belajar ilmu umum dan ilmu agama. Di sini, dijamin bebas dari pemikiran liberal.
Kedua, di keseharian, mendoakan Sultan dan keluarga serta bangsanya dilakukan oleh rakyat dengan tulus (tentang ini, rombongan juga merasakan saat shalat Jumat di Masjid Jami’ Hassanal Bolkiah).
Ketiga, Sultan Brunei sangat menghargai ilmu dan pendatang serta memberi fasilitas yang sangat layak.
Keempat, biaya hidup di Brunei relatif murah. Cukup dengan 500 Dolar Brunei (sekitar Rp 5 juta) sebulan, sudah bisa hidup layak.
Kelima, orang non-Muslim di Brunei nyaman, terlindungi, dan tak dibedakan fasilitasnya.
Hari kedua, Sabtu (26/10/19). Pagi, berangkat. Saat bus wisata mulai bergerak, ketua rombongan, Abdul Ghofir, memimpin doa. Beliau yang sehari-hari tinggal di Jombang-kemudian memberikan semacam evaluasi. “Alhamdulillah hari pertama rihlah berlangsung penuh makna. Ada pengalaman, hiburan, dan ilmu,” ujarnya. Beliau berharap, capaian itu terus meningkat di hari kedua dan ketiga.
Kunjungan pertama ke Royal Regalia Museum. Di Museum Kerajaan ini, disimpan harta-harta kerajaan milik Sultan dari zaman dahulu hingga sekarang. Gedungnya megah dan mudah dikenali karena kubahnya.
Semua koleksi ditata artistik. Ada tahta raja yang terbuat murni dari emas. Ada kereta, kendaraan untuk perarakan Sultan pada zaman dulu. Sementara, foto-foto disusun seperti sebuah kisah. Ada juga, berbagai hadiah dari banyak pemimpin dunia yang bertamu ke Brunei.
Setelah makan siang dan shalat jamak qashar Dhuhur-Ashar, rombongan ke Malay Technology Museum. Tempat ini menyuguhkan gambaran kehidupan dan perkembangan budaya masyarakat Melayu di Brunei. Lalu, melengkapi perjalanan, rombongan berziarah ke makam Sultan Brunei V, tak jauh dari “Malay Technology Museum”.
Sore, rombongan menuju Masjid Omar Ali Saifuddin. Berlokasi di pusat kota, dekat alun-alun, dan dekat Kampong Ayer. Masjid ini didirikan pada 1958. Namanya diambil dari nama Sultan Brunei ke-28. Interiornya, mengagumkan. Kubahnya besar berlapis emas murni, menaranya menjulang, dan ada replika perahu mahligai kencana kerajaan yang mengapung angggun di taman air di sisi kiri masjid.
Menjelang Maghrib, kami tiba di rumah Dr Anshori. Lelaki asal Pamekasan ini, dosen di Universiti Brunei Darussalam. Usai shalat dan makan, rombongan mendapat kuliah singkat dari Ustadz Ahmad Fanani, dosen Unida Gontor. “Selalu bersyukurlah dengan sepenuh hati. Untuk itu, pahamilah hikmah di balik ungkapan alhamdulillah,” demikian nasihat lelaki yang sedang studi S3 di UBD itu.
Ingin studi di Brunei? “Hal yang penting, ridha dari orang tua dan ikhtiar maksimal,” demikian kata Anshori yang diminta berbicara selaku tuan rumah. “Brunei sangat membantu dan benar-benar memfasilitasi para pencari ilmu, antara lain lewat beasiswa,” lanjut ayah tiga anak ini dan di saat SMA dulu aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII).
Alhamdulillah! Sama seperti di hari pertama, perjalanan di hari kedua diakhiri dengan santapan rohani. Pulang, dalam perjalanan ke hotel, rombongan disapa hujan. Menyejukkan!
Hari ketiga, Ahad (27/10/19. Rihlah dimulai di Taman Haji Sir Omar Ali Saifuddin, di Pusat Bandar. Ini, seperti alun-alun. Tiap Ahad ada semacam car free day. Ada pedagang kaki lima. Kegiatan khusus di hari Ahad ini disebut “Bandarku Ceria”.
Usai dari taman itu, rombongan berjalan kaki ke Jubile Park, sebuah taman di pinggir Sungai Brunei. Selepas mengambil foto di taman yang dibuat untuk memeringati ulang tahun ke-60 Sultan Hassanal Bolkiah, dengan perahu kami menyeberangi Sungai Brunei, menuju Musium Air.
Sampailah ke Museum Kampong Ayer. Di sini terdapat berbagai koleksi benda-benda dan sejarah Kampong Ayer yang unik.
Puas melihat-lihat isi museum, dengan dua perahu motor rombongan menyusuri Sungai Brunei. Rombongan bisa merasakan suasana kampung yang mendapat julukan sebagai kampung air terbesar di Asia Tenggara.
Dari atas perahu, rombongan mengambil beberapa gambar dengan latar belakang menarik. Termasuk, saat perahu motor berposisi persis di belakang Istana Nurul Iman—tempat Sultan bertempat-tinggal. Juga, dengan posisi ketika Masjid Omar Ali terlihat jelas dari Sungai Brunei.
Usai berwisata air, rombongan ke The Mall untuk membeli oleh-oleh. Lalu, berpindah tempat ke Rimba Garden Central. Rombongan beruntung, karena di tempat itu sedang berlangsung Pameran Bunga Internasional.
Puas menikmati aneka tanaman hias yang indah, rombongan bergerak ke Bandara untuk terbang pulang pada pukul 20.00 waktu setempat atau pukul 19.00 WIB. Pukul 21.00 rombongan tiba di Bandara Juanda, Surabaya.
“Alhamdulillah, rihlah kita berlangsung lancar. Semoga Allah ridha. Semoga pula, Allah beri kesempatan untuk mengadakan rihlah-rihlah berikutnya, misalnya ke Turki atau Uzbekistan,” kata Abdul Ghofir. Khusus yang disebut terakhir itu, banyak yang mengamini.
Tiga hari perjalanan, kesan kuatnya, Brunei adalah negeri yang aman, ramah, indah, dan menyenangkan. Aman, tak ada jalanan macet. Semua patuh kepada rambu-rambu yang ada. Tak ada juru parkir karena terbiasa tertib. Menyeberang jalan, asal di zebra cross, kita bisa aman melenggang karena mobil-mobil rela memberi kesempatan meski si penyeberang tak memberi isyarat dengan tangan, misalnya.
Ramah, karena warganya benar-benar menerapkan “Senyum, salam, sapa”. Untuk yang dewasa, tak segan warga menawari singgah ke tempatnya. Bahkan, yang masih seusia Sekolah Dasar, mereka terlihat terbiasa menyapa dan mengajak salaman meski tak saling kenal sebelumnya.
Indah, sebab ke mana arah mata memandang, semua tertata rapi. Indah, sebab sampah tak terlihat. Di jalan, tak tampak sampah. Juga, di sungai, tak tampak sampah.
Menyenangkan, karena kehidupan berjalan tertib. Buahnya, nuansa kedamaian terasa di mana-mana. Lihat, misalnya, masjid-masjid indah di sana menjadi salah satu destinasi wisata dan bahkan juga bagi wisatawan non-Muslim.
Mereka bisa masuk ke ruang utama masjid, dengan sejumlah aturan. Pertama, mereka—yang perempuan—disediakan semacam baju kurung. Kedua, ada jalur dan areal khusus yang dapat diakses mereka dan itu diberi tanda yang cukup jelas.
Ada yang menarik pada Ahad bakda Ashar, di Masjid Jami’ Hassanal Bolkiah. Di area khusus di ruang utama masjid, terlihat dua wanita pelancong yang non-Muslim. Mereka bersimpuh berlama-lama, di bagian belakang masjid tapi posisinya persis menghadap mihrab. Ekspresinya, seperti kombinasi antara kagum dengan arsitektur yang cantik dan luapan perasaan hati yang syahdu.
Sungguh, di Brunei, “Hidup tenang dan nyaman. Terasa makmur dan penuh berkah,” kata Ali Mansyur, peserta yang sehari-hari tinggal di Banyuwangi. “Brunei adalah sebuah representasi, bahwa jika Islam memegang kekuasaan maka syariah akan ditegakkan. Hasilnya, kemakmuran: Hidup tanpa pajak, sekolah gratis, kesehatan Cuma-cuma, masjid makmur dan menjadi simbol peradaban,” tutur Rahmaweni, peserta yang tinggal di Surabaya.
Demikianlah, tiga hari tinggal di Brunei Darussalam. Nama Darussalam yang disandangkan kepada Brunei, insyaallah kuat terasakan. Kata itu, Darussalam, dipakai untuk menegaskan Islam sebagai agama negara dan untuk meningkatkan penyebarannya.
Alhamdulillah, KA-MUA antara lain telah berusaha menghidup-hidupkan ayat ini: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya” (Al-Mulk ayat 15).
Semoga Allah mudahkan untuk rihlah-rihlah berikutnya, agar ghirah selalu tergugah. Amin. (*)
Penulis M. Anwar Djaelani. Editor Mohammad Nurfatoni.