PWMU.CO – Bagi warga Muhammadiyah, tulisan tentang “Menguak Rahasia Muhammadiyah Selalu Nampak Beda dengan NU” yang bertebaran di dunia maya, seringkali dibiarkan. Konon, tulisan itu berdasarkan pada buku Fiqih karya KH Ahmad Dahlan pada tahun 1924, setahun setelah kewafatannya. Istilahnya, bagaimana merespons tulisan dari orang yang tidak faham Muhammadiyah tapi menulis Muhammadiyah: seperti tidak ada pekerjaaan saja.
(Baca juga: Jangan Paksakan Logika NU untuk Nilai Muhammadiyah! Begitu juga Sebaliknya)
Sayangnya, “selebaran” itu, pada pekan depan–jika tidak ada perubahan– justru diangkat oleh pihak lain, Majalah Tempo. Sebuah majalah yang sebenarnya selama ini cukup kredibel ketika menurunkan berita investigatif tentang skandal di Republik ini. Cuma, tidak tahu, mengapa kali ini mengupas masalah “fiqhiyyah” yang –maaf– memang butuh keahlian tersendiri selain wawancara.
(Baca: Apa yang Terjadi jika Warga Muhammadiyah Jadi Imam Jamaah Nahdhiyin? dan Redaksi Takbiran: Allahu Akbar 2 atau 3 Kali?)
“Tentang Majalah Tempo edisi baru, kemungkinan memuat artikel tentang Kitab Fikih Muhammadiyah. Yaitu sebuah kitab dengan tulisan Arab dan dalam Bahasa Jawa yang menyebut diterbitkan oleh Taman Pustaka Muhammadiyah, tanpa tahun dan bersifat fotokopian,” jelas Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015.
Reportase itu, tambah Din, agaknya ingin menunjukkan bahwa dengan kitab itu, ‘ubudiyah (tata cara ibadah) Muhammadiyah awal tidak berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU). Demi proporsionalitas (keseimbangan) berita, yang sangat mungkin tidak akan sama persis , Din mengungkapkan beberapa hal. “Kebetulan saya diwawancarai, dan saya nyatakan beberapa hal,” jelas Din.
(Baca: Ketika Imam Masjid Muhammadiyah Membaca Qunut dan Putra Tokoh NU Itu Pimpin Pemuda Muhammadiyah Sukodadi)
Pertama, otentisitas (keaslian) kitab tersebut perlu diuji secara akademik oleh ahli filologi. Sebab, bentuk tulisan agak meragukan karena pertimbangan beberapa hal. Diantaranya khat (tulisan Arabnya) sudah agak modern, tidak seperti khat kitab-kitab kuning kuno baik cetakan maupun tulisan tangan, apalagi tahun 1924.
“Pertimbangan lainnya, tiga halaman pertama berbeda dengan halaman-halaman berikutnya, yaitu terkesan lebih moderen dan “bold”. Dan tidak ada penyebutan penulis (Ahmad Dahlan), kecuali hanya Taman Pustaka Muhammadiyah,” jelasnya. Selanjutnya halaman 2