PWMU.CO – Subuh belum sempurna. Kabut mengambang di Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan, membawa rasa dingin yang menusuk kulit.
Dua puluh delapan siswa kelas VIII ICP (International Class Program) SMP Muhammadiyah 12 GKB (Spemdalas) memulai perjalanan Fantastic Camp hari kedua menyusuri jalan beraspal nan sempit mulai pukul 03.00, Jumat (1/11/19) dengan mengendarai lima lima jeep menuju penanjakan 1 di Bukit Cinta lokasi untuk melihat sunrise.
Suara lima Jeep menderu melintasi jalanan, menembus kabut pekat yang ditempa lampu jalanan kurang terang. Di samping kanan kiri jalan, pohon pinus tinggi menjulang. Tubuh siswa berguncang dan bergoyang saat berada di dalam kendaraan.
Jeep melaju dan berbelok di tikungan tajam. Pak Andi—akrab dipanggil Gendut—sopir Jeep, begitu lihai memutar dan menjaga keseimbangan kemudi. Tanjakan dan turunan tajam seakan menjadi menu wajib perjalanan kali ini. Hampir 1 jam waktu tempuh perjalanan.
Tepat pukul 04.00, rombongan sampai di spot pertama di penanjakan 1, Bukit Cinta lokasi untuk menyaksikan sunrise. Jeep diparkir di ruas jalan yang sedikit jauh dari lokasi. Perjalanan pun dilanjutkan dengan jalan kaki. Gelap masih pekat, jarak pandang hanya sekitar 3 meter, siswa pun jalan tanpa penerangan.
Di ketinggian 2.680 meter
Ratusan wisatawan dalam dan luar negeri singgah sejenak di warung-warung di tepi jalan. Mereka duduk kursi panjang sambil menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi maupun aneka macam gorengan, menunggu momen sunrise tiba.
Berada di ketinggihan 2.680 di atas permukaan laut, suhu dingin sangat menusuk. Rombongan Fantastic Camp mengenakan jaket, topi gunung rajut, masker, dan sarung tangan untuk sekedar menahan suhu dingin yang mencapai angka lima derajat Celsius.
Adrian Hoart (13) sibuk membetulkan posisi jaket dan topi gunung warna abu-abu. Cowok kelahiran Cirebon yang menghabiskan masa sekolah dasar di Kupang ini sempat mual saat turun dari Jeep.
“Keindahan sunrise inilah yang menjadi motivasi saya untuk bertahan dari rasa sakit itu. Mungkin kondisi perut kosong dan guncangan saat di dalam jeep tadi,” ujarnya, sambil nyeruput kopi di warung yang jaraknya 70 meter dari lokasi spot sunrise.
Ian–sapaan akrabnya—mengaku kunjungan ke lokasi ini sudah kali kedua. Pertama, saat diajak saudara pada pertengahan bulan oktober lalu. Tentang keindahan, cowok yang kelahiran 9 Maret 2006 ini pun memberikan jempol 2.
“Amazing. Tidak sia-sia menunggunya,” ucapnya sambil berfoto bareng dengan rombongan.
Titik spot sunriae dengan 7 undakan dengan tempat duduk mirip tribun lapangan olahraga berbentuk setengah lingkaran memanjakan pasang mata pengunjung menyaksikan munculnya matahari dari ufuk timur.
Para pengunjung ada yang memainkan drone, berswafoto, mengabadikan dengan foto bersama, dan juga bikin vlog. Tak terkecuali Ilham Aditya Wibowo.
Siswa yang barusan menyabet medali emas Olympicad 2019 bidang Ismu English di Semarang ini pun aktif membuat Vlog. “Bikin vlog dengan latar sunrise. Ini yang harus diabadikan,” ungkapnya.
Ilham—sapaannya—tidak hanya dengan teman rombongan, tetapi juga mengajak bareng turis asing untuk mengucapkan kata Spemdalas sambil memberikan jempol. Setelah itu akan ia tambahi kalimat berbahasa Inggris biar lebih menarik isinya.
Cowok yang hobi traveling ini pun tak henti-hentinya mengajak temannya untuk membuat konten vlog-nya.
Pacu adrenalin di dalam Jeep
Sekitar dua jam setengah rombongan Fantastic Camp berada di penanjakan 1. Tepat pukul 07.30 mereka mulai turun dengan untuk melanjutkan trip berikutnya di Gunung Bromo.
Adrenalin pun terus dipacu. Bukan hanya saat menuruni jalan berliku dan ekstrem dengan Jeep, tetapi saat berada di lautan pasir, dekat Gunung Batok dan Bromo.
“Saat gas Jeep ditancap sang sopir, saat itulah kejutan demi kejutan dimulai. Seperti sedang naik mobil balapan, kelima Jeep saling kebut dan kejar, saya pun sempat menjerit tapi happy saja,” cerita Rifda Aisyah Syafitri saat diwawancarai PWMU.CO, Sabtu (2/11/19).
Rida—sapaannya—mengungkapkan berada di Jeep serasa melayang-layang. Mobil meliuk-liuk dicampur debu beterbangan. Saat Jeep berhenti di lokasi pasir berbisik, kakinya seperti melangkah di atas awan. Kepala sedikit pusing oleh efek laju kencang Jeep.
Sekitar 45 menit, rombongan berhenti sambil berfoto dengan bentangan spanduk dan bendera Hizbul Wathan. Rida dan kawan-kawannya saling bercanda. Mereka rileks sambil menikmati gugusan pasir yang mahaluas.
“Ini kesempatan langkah, harus dinikmati bersama-sama siswa satu kelas. Fantastic Camp 2019 yang memberikan nilai edukasi plus kenikmatan destinasi wisata. Semoga tahun depan, destinasi di Fantastic Camp lebih memberikan tantangan lebih,” ujarnya.
Hampir satu jam, jeep yang membawa rombongan ICP Spemdalas pun meneruskan lajunya. Mampir ke padang savana yang sering disebut Bukit Teletubbies.
Tidak hanya sekadar istirahat sebelum menaklukkan puncak Gunung Bromo, siswa juga menggelar sajadah. Mereka melaksanakan shalat Dhuha di dekat monumen Bukit Teletubbies.
“Kita mengajarkan pada mereka, bahwa pembiasan shalat Dhuha harus tetap dilakukan. Mereka bisa tayamum melaksanakan shalat di bawah terik matahari,” kata Anis Shofatun SSi MPd, guru pendamping.
Taklukkan Puncak Bromo
Tantangan yang belum ditaklukan adalah mendaki 250 tangga Gunung Bromo. Rombongan Fantastic Camp harus meneruskan perjalanan. Sempat satu Jeep terjebak pasir yang dalam tapi tidak mengurangi keseruan trip ini.
Disambut gerimis tipis, 28 siswa dan 4 guru melakukan perjalanan kaki menuju kaki Gunung Bromo. Nun jauh di sana, puncak Pura dan bongkahan bukit kecil warna abu-abu terlihat. Sejauh mata memandang gugusan gurun membentang. Kaki terasa berat karena gundukan pasir tebal menghadang.
Ini tidak menyurutkan Nadindra Khairurassya Zamyeri dan kawan-kawan untuk menaklukkan puncak Bromo. “Ada perasaan tidak bisa mencapai puncak,” tutur Nadindra.
Indra—sapaannya—pun menghilangkan perasaan itu jauh-jauh. Kakinya terus dilangkahkan. Napasnya diatur supaya bisa menyimpan energi untuk melewati jalan berdebu dan berpasir.
Ada juga sebagian temannya yang memanfaatkan jasa kuda yang disewakan. Tetapi cowok yang memiliki hobi baca ini terus melangkah kaki.
Rasa lega pun dirasakan Indra ketika kakinya menginjakkan di tangga paling atas, di puncak Bromo. Ini adalah capaian dari jerih payah dan motivasi yang dia bangun. Momen ini, menurutnya, dirayakan dengan foto bersama. Ceria dan bangga terlukis di semua wajah siswa.
“Lega saat berada di puncak. Lihat hambaran gurun pasir dari atas Bromo sekaligus bisa lihat kawahnya. Inilah impian sebelum berangkat Fantastic Camp. Akhirnya bisa dicapai,” ucapnya bangga.
Saat menuruni tangga Bromo, rasa capek hilang diganti dengan ungkapan kebahagiaan. Ada lembar cerita yang akan disampaikan pada teman maupun orang tuanya.
“Kalau kita mau berusaha, apapun bisa dicapai dan diraih. Kisah ini akan diceritakan saat sampai di rumah nanti,” tutur Indra sambil tersenyum bangga.
Ya, rombongan Fantastic Camp telah menaklukan Bromo. Nilai pembelajaran tak pantang menyerah pun telah dicapai. “Inilah pembelajarannya. Siswa harus punya mimpi. Yang penting lagi, mimpi itu harus diupayakan. Harus ada usaha yang dikerjakan.
Taklukan puncak Bromo bisa dijadikan simbol cita-cita, gurun pasir, berdebu, capek dan lelah ada tantangan yang harus dijalankan dan diupayakan,” ungkap Fitriatus Sa’adah SPd, koordinator kegiatan.
Fitriatus pun memberikan jempol pada upaya siswa yang berhasil di puncak, meskipun ada beberapa siswa yang harus kembali karena sakit dan tidak kuat lagi.
Berapa pun jumlah siswa yang berada di puncak, Fitriatus mengapresiasi kinerja semua siswa yang ikut Fantastic Camp 2019 ini. “Tantangan lebih pun siap menunggu di Fantastic Camp tahun depan,” katanya saat rombongan meninggalkan Bromo menuju homestay. (*)
Kontributor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.