PWMU.CO – Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik menggelar pengajian di Gedung Dakwah, Ahad (3/11/2019).
Hadir sebagai penceramah Ketua PWM Jawa Tengah Dr H. Muhammad Tafsir MAg. Dalam ceramahnya dia mengajak jamaah membedakan ranah syariah, fiqih, dan budaya keagamaan yang selama ini menjadi perdebatan campur aduk di media sosial.
”Seringnya tidak bisa membedakan syariah, fiqih, dan budaya keagamaan ketika di media sosial sehingga memancing emosional pembacanya,” kata Ustadz Tafsir.
Dia lantas melempar pertanyaan mengenai zakat fitrah dengan beras. ”Mengapa zakat fitrah memakai beras? Mengapa timbangan beras zakat fitrah 2,5 Kg?” tanyanya.
Jamaah menjawab, karena zakat fitrah dengan makanan pokok. Ada yang menjawab timbangan 2,5 Kg sudah ketetapan nabi dan para ulama.
Dengan senyuman Ustadz Tafsir menukilkan hadits Rasulullah dari Abu Said Al-Khudry ra berkata, pada zaman Nabi saw kami selalu mengeluarkan zakat fitrah satu sho’ makanan, atau satu sho’ kurma, atau satu sho’ sya’ir, atau satu sho’ anggur kering.
Dalam suatu riwayat lain: Atau satu sho’ susu kering. Abu Said berkata, adapun saya masih mengeluarkan zakat fitrah seperti yang aku keluarkan pada zaman Nabi saw.
Dalam riwayat Abu Dawud disebut, Aku selamanya tidak mengeluarkan kecuali satu sho’.
Dari hadits tersebut Ustadz Tafsir menanyakan, di manakah ada disebut zakat fitrah berupa beras dan berat timbangan 2,5 Kg?
Jamaah terdiam. ”Apakah ini perkara bid’ah? Rasulullah tidak pernah memberikan contoh (zakat dengan beras) dan setiap bid’ah adalah sesat,” seloroh Ustadz Tafsir membuat para jamaah tertawa lagi.
Dia kembali melempar pertanyaan.”Menutup aurat batas laki-laki adalah pusar sampai lutut. Bolehkah saya ceramah dengan hanya memakai handuk?” Maka para jamaahpun semakin ger-geran.
Lemparan pertanyaan-pertanyaan itulah menjadikan para jamaah bisa membedakan mana ranah syariah, fiqih, dan budaya keagamaan. Maka Ustadz Tafsir mengingatkan pengertian syariah menurut Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
”Syariah adalah apa-apa yang diturunkan Allah dalam Alquran dan yang datang lewat para Nabi berupa sunnah Nabi, berupa perintah larangan dan petunjuk untuk kebahagiaan hambanya di dunia dan akhirat.”
Dia menjelaskan, syariah tidak pernah berubah dari diturunkan sampai sekarang dan kapanpun. Syariah bersifat abadi dan tidak akan berubah. Misalkan, perintah shalat dan zakat sampai kapan pun tidak akan pernah berubah menjadi kewajiban umat Islam.
Menjelaskan zakat fitrah di Indonesia berupa beras dan 1 sho’ menjadi 2,5 Kg, dia menerangkan, munculnya kaidah fiqih yang memberikan pemahaman untuk kesesuaian syariah dengan kondisi zamannya. Jadi fiqih bisa tidak sama dengan tempat yang lain atau memiliki perbedaan dalam menjalankan syariat. ”Maka, ketika masuk wilayah fiqih kita tidak akan seragam,” lanjutnya.
Semua sepakat kewajiban shalat bagi umat Islam, akan tetapi ketika pada pembahasan rukunnya akan muncul perbedaan. Karena Rasulullah tidak menjelaskan secara detail sebab Rasulullah hanya menyampaikan, shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Semua sepakat khamr itu haram tidak ada yang berani membantah karena ini syariah, akan tetapi masuk pada pembahasan rokok maka masuk pada wilayah fiqiyah. ”Kalau di Muhammadiyah haram, di kalangan NU makruh, maka ada perbedaan pandangan,” tuturnya.
Semua sepakat riba itu haram tidak ada yang membantah, akan tetapi masuk pada persoalan bunga bank maka muncul perdebatan.
”Fiqih bisa berubah. Umat harus jelas ikut fiqih siapa, karena kita di Muhammadiyah maka kita mengikuti fiqihnya Muhammadiyah,” katanya
Sampai kapan pun umat Islam syariahnya sama tapi fiqihnya akan berbeda-beda. ”Karena itu tidak pantas untuk bertengkar masalah fiqiyah karena Rasulullah tidak meninggalkan CCTV,” jelasnya memancing jamaah ger-geran lagi.
Menurut dia, perdebatannya tidak akan putus karena Nabi Muhammad sudah wafat dan Islam dibawa pada ruang waktu yang berbeda.
Pada budaya keagamaan, sambung dia, umat manusia memiliki ranah pikiran dan karya, sehingga Islam berubah dalam rangka budaya pada suatu masyarakat. Ada rumusan tidak mungkin manusia lepas dengan budaya, maka berubahlah karakter dari budaya Arab menjadi budaya masyarakat setempat.
”Di Muhammadiyah memunculkan dakwah kultural Muhammadiyah. Muhammadiyah mengapresiasi budaya. Dengan budaya agama menjadi ramai dan mengakar. PR-nya bagaimana budaya tidak bertentangan agama ,” katanya sembari menutup pengajian. (*)
Penulis Dimas Hasbi Assiddiqi Editor Sugeng Purwanto