PWMU.CO – Ada satu hal yang seolah menjadi nyanyian bersama Kabinet Presiden Jokowi-Ma’ruf kali ini. Yaitu ingin memberantas radikalisme yang menurut mereka sedang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan menjadi ancaman besar bagi eksistensi NKRI.
Perlu dicatat bahwa secara umum radikalisme itu memang masalah dan bahaya. Radikalisme dalam banyak hal membawa keresahan dalam masyarakat. Tidak jarang membawa kepada perpecahan, permusuhan, dan konflik bahkan di antara sesama umat beragama.
Yang lebih runyam lagi isu radikalisme itu kemudian mengarah kepada satu bentuk. Yaitu bentuk radikalisme agama. Menyedihkannya kemudian adalah ketika isu radikalisme agama itu mengarah kepada agama tertentu.
Yang menjadi masalah kemudian adalah ketika isu radikalisme ini dilemparkan ke publik, bahkan seolah sengaja dan secara sistimatis dibangun sebuah persepsi bahwa radikalisme itu nyata dan berbahaya. Tapi isu yang dilemparkan itu tidak memiliki defenisi yang jelas. Akibatnya hanya menumbuhkan keresahan dan kecurigaan di antara masyarakat.
Penyebutan ciri-ciri fisik yang biasa diidentikkan sebagian sebagai ciri keagamaan, seperti celana cingkrang, janggut, jidat hitam, cadar, dan seterusnya semakin menyimpulkan bahwa yang ditarget dalam hal ini adalah kelompok agama tertentu.
Yang membingunkan memang adalah kenyataan bahwa yang paling getol melemparkan isu radikalisme ini adalah mereka yang secara pribadi memilki latar belakang agama yang (tampak) cukup baik. Merekalah yang seolah kebakaran janggut ingin memberantas apa yang mereka sebut sebagai radikalisme.
Saya ingin sekali lagi menggarisbawahi bahwa radikalisme memang sebuah fenomena yang perlu diwaspadai. Bahkan sejatinya perlu diperangi bersama. Radikalisme tendensinya melihat dirinya paling benar dan orang lain kurang dan salah. Bahkan membawa kepada permusuhan dan perpecahan.
Tendensi radikalisme agama misalnya seringkali menjadi “obstacle” (sandungan) bagi jalan dakwah kami di Amerika. Mereka yang radikal ini hobinya mencari-cari “ketidak sempurnaan” sesama. Saya misalnya menjadi target karena komitmen saya membangun dialog-dialog antarpemeluk agama-agama.
Masalahnya kemudian adalah ketika isu radikalisme yang dilemparkan itu adalah isu kabur. Isu yang tidak jelas defenisi dan batas-batasannya. Seolah hanya sebuah pelemparan batu sembunyi tangan.
Radikalisme itu sebuah pandangan (ideologi) dan karakter (prilaku) hidup yang cenderung melewati batas-batas (hudud) normal dan hukum. Keberadaannya selalu ingin lebih, dan yang lain kurang.
Pandangan dan perilaku seperti ini dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Maka radikalisme bisa dalam bentuk cara pandang ekonomi. Ketika sistem ekonomi melampaui batas-batas kebutuhan pribadi atau publik, dan cenderung saling mengorbankan. Itulah radikalisme dalam perekonomian. Maka baik kapitalisme maupun sosialisme adalah dua bentuk radikalisme dalam perekonomian.
Radikalisme juga bisa terjadi dalam bentuk cara pandang dan prilaku politik. Ketika sebuah cara pandang dan prilaku politik menjadi tuhan dan suci—dengan melihat pandangan dan pilihan politik lain salah bahkan ancama—itu adalah radikalisme dalam perpolitikan. Dukungan buta atau kebencian tiada batas dalam dukungan politik merupakan bentuk radikalisme politik itu sendiri.
Demikian pula aspek lain dari kehidupan manusia. Radikalisme beragama terjadi ketika seseorang berada pada pandangan keagamaan yang absolut. Saya mengatakan pandangan. Bukan pada agamanya. Tapi pandangannya.
Agama itu absolut. Tapi pandangan atau tepatnya tafsiran keagamaan bersifat manusiawi. Dan karenanya tidak absolut. Oleh karena itu ketika seseorang merasa paling benar dan yang lain kurang maka pandangannya telah terasuki radikalisme. Pandangan yang merendahkan bahkan cenderung menihilkan orang lain. Akibatnya permusuhan dan perpecahan rentang terjadi dalam masyarakat.
Permasalahan terbesar dalam melihat isu-isu negatif kemasyarakatan ini adalah ketika ada kepentingan politik yang terlibat.
Isu radikal versus moderat misalnya di Amerika kerap didefenisikan oleh bagaimana arah kepentingan global Amerika. Sebuah negara dengan mudah dicap radikal karena tidak sejalan dengan kepentingan Amerika. Sebaliknya sebuah negara dengan segala bentuk radikalismenya tetap teman karena kepentingan juga.
Dalam skala nasional juga khawatirnya demikian. Pelemparan isu radikalisme ini jangan sampai didasari oleh ikatan atau kepentingan politik. Seorang atau kelompok dituduh radikal hanya karena beda pilihan politik.
Jika ini terjadi maka di sìtulah kegagalan awal dari pemerintahan yang ada. Pertimbangan bukan lagi nilai dan kepentingan bangsa/negara. Tapi lebih kepada kepentingan sesaat dan golongan.
Dan dengan sendirinya berarti telah terjadi kegagalan dalam menyikapi dan menyelesaikan isu-isu kebangsaan yang sesungguhnya. Masalah ekonomi, lapangan kerja, pendidikan, dan lain-lain seharusnya mendapat perhatian utama. Isu radikalisme seolah menjadi taqiah (persembunyian) dari kegagalan menangani isu-isu kebangsaan yang mendesak dan mendasar itu.
Dan yang lebih berbahaya tentunya adalah pelemparan isu radikalisme yang mengarah kepada kelompok agama tertentu justru akan semakin mempertajam “friksi sosial” atau perpecahan masyarakat. Bahkan tendensi intoleransi akan semakin menjadi-jadi. Karena sebagian merasa dirangkul. Sebagian lain merasa ditinggalkan.
Dan jika itu terjadi maka,itulah sesungguhnya kagagalan murakkab (berlapis) dalam mengelolah kehidupan berbangsa. Semoga tidak! (*)
New York, 5 Nopember 2019
Kolom oleh Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.