PWMU.CO – Presiden Jokowi terbukti lucu. Sambutannya di Kongres Partai Golkar (8/11/19) menyindir rangkulan Teletubbies Surya Paloh-Shohibul Iman lucu habis.
Harusnya momen itu menjadi momen cair yang bikin ngakak politik nasional. Momen itu bisa menjadi “the most hillarious political moment 2019”. Momen politik paling lucu 2019.
Andai saja Surya Paloh membalas humor satire itu dengan humor yang lebih cerdas, pasti momennya akan jadi lucu dan segar, hillarous.
Sayang, Paloh merusak momen itu. Reaksinya kurang segar dan terlalu serius. Jadinya momen hilang dan tegang. Akhirnya terjadi saltum alias salah momentum.
Selera humor politisi negeri ini rendah, dan itu bikin suasana tambah spaneng. Yang terjadi sebenarnya bukan diskursus politik kita picisan, tapi diskursus politik kita kering, kekurangan humor. Kurang piknik, kata emak-emak.
Akhirnya terungkap fakta-fakta freudian dari bawah sadar. Emosi, mimpi, slip of the tounge, adalah luapan di luar kesadaran yang bisa mengungkap kenyataan. Apa yang selama ini menjadi rumor politik jadi terkonfirmasi. Ada keretakan koalisi di level elite. Jothakan politik Surya Paloh dengan Megawati membawa rentetan politik yang panjang dan serius.
Jokowi itu—dalam istilah Jawa—ndableg. Dia meledek Surya Paloh dengan gaya slengekan khas Solo, terbuka, tajam, dan penuh humor. Guyon parikena alias bercanda tapi mengena. Itu guyon khas ala Jawa.
Andai saja Surya Paloh punya selera humor bagus dia akan bangkit menyambut Jokowi di bawah podium dan memeluknya dengan erat melebihi pelukan ke Shohibul Iman.
Budaya politik kontek rendah (low context) ala Surya Paloh yang berlatar belakang Aceh, berbenturan dengan budaya kontek tinggi (high context) Jokowi yang berlatar belakang Jawa Solo.
Budaya slengekan Jawa bisa dijumpai di Solo maupun Jogja. Orang Jogja punya budaya plesetan yang bisa membelokkan suasana serius menjadi lucu. Itulah, kira-kira, yang membuat umur rata-rata orang Jogja terpanjang di Indonesia.
Rocky Gerung suka mengutip kisah KH Agus Salim yang cerdas dan berhumor tinggi dalam berpolitik. Suatu ketika saat Agus Salim berpidato seseorang mengembik meledek Agus Salim seperti kambing. Alih-alih marah, Agus Salim menyahut, “Setahu saya acara ini hanya dihadiri manusia, tapi ternyata kambing juga hadir …”
Bung Karno punya selera humor kelas dewa. Tak tanggung-tanggung, dia mengusili dan mengerjai Dubes Amerika Serikat, Marshall Green, di depan umum pada 1965. Bung Karno penggemar durian. Green, seperti umumnya orang Barat, bisa muntah kena bau durian. Di sebuah acara di atas panggung terbuka Bung Karno menyuguhkan durian dan mengajak Green memakannya.
Inilah guyon diplomasi paling cerdas sepanjang zaman. Kapan lagi kita bisa mengerjai Amerika di depan umum.
Pak Harto. Siapa bilang tak punya selera humor? Dialah The Smiling General, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Dialah The Joker asli. Tak pernah terlihat beda antara marah dan senang. Tersenyum tapi mematikan. Mengangguk, belum tentu setuju, menggeleng belum tentu berarti tidak.
Sanepa politiknya tinggi, karena itu dibutuhkan interpretator politik tangguh untuk memahami Pak Harto. Toh, masih ada narasi lucu dari Pak Harto. Ia menggunakan diksi gebug untuk lawan-lawan poliknya. Lucu sekaligus mematikan.
Habibie, pasti lucu juga. Paling tidak kalau ditirukan oleh Butet Kertaredjasa. Setidaknya Butet jadi banyak job karena menirukan gaya komunikasi lucu pak Habibie
Megawati? Presiden terlucu yang pernah dipunyai Indonesia. Mega diam saja sudah lucu, apalagi bicara. Tapi lebih baik dia diam supaya kelucuan terjaga.
Presiden ketujuh SBY ini juga lucu. Dia bikin partai sendiri, jadi presiden sendiri, dan sekarang bingung sendiri karena partai lagi nyungsep. Bingung mau mewariskan partai kepada siapa. Biasanya anak berantem berebut warisan. Tapi baru kali ini ada anak berantem karena menolak warisan.
Gus Dur? Ngakak pol. Sayang Gus Dur jadi presiden setelah kena stroke, begitu kata salah satu orang dekatnya. Andai tidak, maka akan dahsyatlah Indonesia karena Gus Dur menguasai betul diskursus politik luar negeri Bung Karno, dan akan menghidupkan kembali kepemimpinan non blok dunia ketiga ala Bung Karno
Di Amerika pun Presiden Clinton ngakak kena humor Gus Dur. Asyik kan, punya presiden cerdas dan lucu. Kalau “Humor Mati Ketawa ala Gus Dur” dibukukan (sudah ada sebagian) tebalnya bisa segede bantal.
Sebenarnya Ade Armando lucu juga ketika menggambarkan Anies Baswedan sebagai Joker. Sayang Ade tidak lucu dan tak punya sense of joke. Seharunya narasinya terhadap Anies bukan “Gubernur Jahat” tapi “Gubernur Lucu”, pasti efek komunikasi visualnya akan beda, dan Fahira Idris tidak bisa melaporan ke polisi.
Kali ini Anies Baswedan memang lucu sekali, masak anggaran lem Aibon sampai Rp 82 miliar. Apakah itu keteledoran, pembusukan, atau apapun, tetap saja bikin ngakak (itu Aibon sapi apa Aibon ayam …)
Tapi, jangan lupa, Anies punya mental Jogja yang kokoh tidak gampang ambyar seperti Didi Kempot. Mental toughness itu juga yang memenangkan Anies melawan Ahok pada 2017. Mental toughness itu juga yang (mungkin) jadi modal kuatnya pada pilpres 2024 (colek Om Surya Paloh). (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.