PWMU.CO-Tengah hari ini Rabu (13/11/2019) tersiar kabar duka. Arief Santosa Legowo (53), anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim meninggal dunia di RS Graha Amerta Surabaya pukul 12.55.
Setahun ini Arief Santosa yang menjadi Koordinator Liputan Jawa Pos dalam kondisi sakit. Awalnya mendadak tak sadarkan diri saat bekerja. Opname beberapa hari di RS Dr Soetomo. Saat sadar memorinya pelan-pelan kembali pulih.
Ketika dibezuk mulai bisa mengenali teman-temannya. Tapi suaranya hilang. Tenggorokannya dilubangi oleh dokter untuk membantu dia bernafas. Komunikasi lebih banyak lewat tulisan. Kalau ingin suaranya terdengar keras, dia tempelkan telapak tangan di lehernya.
Setelah pulih dia menjalani rawat jalan dan banyak istirahat di rumah. Aktivitasnya langsung berkurang. Hingga ada kabar dia masuk rumah sakit lagi dan kabar duka ini.
Saya mengenal Arief Santosa sekitar tahun 1995. Ketika sama-sama menjadi wartawan lapangan yang meliput di Pemkot Surabaya. Penampilannya sederhana, nada bicaranya pelan khas wong Yogya. Kadang menggoda rekannya dengan lelucon.
Walaupun sama-sama meliput berita, angle dan gaya tulisannya berbeda dengan lainnya. Deskripsinya lebih detail. Mungkin karena dia lulusan sastra UGM.
Ada satu tulisan beritanya yang pernah menjadi pembicaraan teman-teman wartawan. Saat itu meliput kegiatan istri Walikota Surabaya, Ny. Wien Sunarto Sumoprawiro mengunjungi warga tergusur.
Esok pagi ketika berita terbit, tulisan Arief cita rasanya agak berbeda. Dia menulis Ny. Wien sampai meneteskan air mata ketika melihat warga. Ternyata wartawan lain tidak sampai melihat begitu detail mimik wajah istri walikota. Hanya fokus pada acaranya. Namun Arief matanya sampai mengamati ekspresi itu.
Sampai-sampai pagi itu ketika wartawan bertemu Ny. Wien di Balai Kota, langsung menanyakan Arief mana. Ny. Wien bilang,”Waduh wartawan iki nulis kok sampai detail yo.” Dia berkata begitu sambil tertawa tersipu.
Arief juga dijuluki sebagai Kabag Humas kedua. Sebab menjelang sore saat mau kembali ke kantor masing-masing, wartawan lain ada yang meminta berita yang tak sempat diliput.
Dengan senang hati Arief membacakan hasil liputannya dan wartawan lain mencatat seperti layaknya jumpa pers. Walaupun begitu ketika terbit, berita dia juga berbeda sebab ada detail data yang dia pakai sendiri.
Tahun berganti ketika sama-sama menjadi redaktur sudah jarang bertemu di lapangan. Saya bertemu dia ketika di forum mengisi pelatihan jurnalistik mahasiswa di beberapa kampus.
Gaya dia mengisi pelatihan jurnalistik yang disukai audiens adalah memberi contoh pengalaman dia mendidik calon penulis. Ceritanya tentu saja panjang. Sehingga mengurangi jam bicara pemateri lainnya.
Untuk memudahkan peserta pelatihan memahami suatu berita layak muat, dia menyebut syarat Rukun Iman Jurnalistik. Tapi isinya ada tujuh poin. Yaitu penting, aktual, unik, asas kedekatan, asas keterkenalan, magnitude (daya tarik), dan aspek human interest.
Setelah itu kami lebih sering bertemu lagi ketika sama-sama aktif di LIK. Di berbagai pertemuan, agenda kegiatan, dan pelatihan menulis. Tapi mulai hari ini tak bisa lagi bertemu dengannya. Karena dia sudah lebih dulu meninggalkan kita. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiiuun. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto