PWMU.CO-Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Din Syamsuddin menghadiri The 2nd Baku Summit of World Religious Leaders atau Pertemuan Puncak Tokoh Agama Dunia Baku Kedua di Azerbaijan, Kamis-Sabtu (14-16/11/2019).
Pertemuan pertama juga berlangsung di Kota Baku pada tahun 2016. Kali ini dihadiri sekitar 200 tokoh berbagai agama dunia. Acara berlangsung di Baku Convention Centre yang megah itu dibuka Presiden Azerbaijan Ilham Aliyef.
Delegasi Indonesia, selain Din Syamsuddin juga hadir Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini yang juga anggota DPR.
Pertemuan ini membahas sejumlah isu yang menjadi tantangan penciptaan perdamaian dunia. Antara lain multikulturalisme, ekstremisme, Islamofobia, Kristenofobia, Anti Semitisme, dan ujaran kebencian. Isu-isu tersebut masih merupakan fenomena dunia dan menjadi kendala besar perdamaian.
Dalam amanat pembukaan Presiden Ilham Aliyef menjelaskan, multikulturalisme penuh toleransi hidup berkembang di Azerbaijan sejak lama. Baik antar agama maupun intra umat Islam yang merupakan kelompok mayoritas di Azerbaijan, khususnya antara Sunni dan Syiah.
”Kedua kelompok umat Islam ini hidup berdampingan secara damai dalam semangat ukhuwah Islamiyah. Azerbaijan adalah satu dari sejumlah negara yg pernah bergabung dalam Uni Soviet yang kemudian mengalami kemerdekaan. Negara yang terletak di pinggir Laut Kaspia dengan penduduk sekitar 10 juta ini merupakan negara kaya energi, khususnya minyak dan gas,” kata Presiden Ilham.
Ibukota Baku merupakan kota indah yang memadukan antara tradisi dan modernitas. Banyak peristiwa dunia berlangsung di sini. Terakhir pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Gerakan Non Blok.
Azerbaijan juga kampung halaman dari banyak ulama, ilmuwan, dan sastrawan Muslim pada abad-abad pertengahan. Seperti At-Tusi atau At-Tabrizi. Karya sastra populer Laila Majnun ditulis oleh sastrawan Azerbaijan, Nizami Ganjavi. Roman ini akan segera dinaikkan ke layar lebar oleh StarVision.
Din Syamsuddin melaporkan, dalam pertemuan ini para tokoh agama-agama dunia memandang radikalisme dan ekstremisme yang berkembang dalam semua agama adalah bertentangan dengan agama itu sendiri. Maka harus dihadapi secara bersama-sama.
Kebencian dan ujaran kebencian yang disasarkan kepada pemeluk agama tertentu oleh pemeluk agama lain seperti muncul dalam gejala Islamofobia, Kristenofobia, atau Anti Semitisme potensial mendorong benturan antar agama dan peradaban, suatu hal yang harus dicegah.
Din saat presentasi menegaskan, radikalisme dan ekstremisme, apalagi dalam bentuk kekerasan (violent extremism) adalah berbahaya dan bersifat anti kemanusiaan. Namun dia mengingatkan, radikalisme dan ekstremisme tidak hanya bersifat keagamaan (religious radicalism) juga bersifat non keagamaan seperti radikalisme sekuler (secular radicalism).
Bahkan yang terakhir, sambung dia, jika bercampur dengan kebebasan sehingga menjadi radikalisme sekuler-liberal menjadi lebih berbahaya karena sering merasuk ke dalam sistem kehidupan nasional seperti politik dan ekonomi.
”Radikalisme sekuler-liberal yang merasuki sistem politik dan ekonomi sesuatu negara akan membuat negara itu rusak bahkan runtuh, serta meninggalkan ideologi negara,” tandasnya.
Menurut Din, inilah yang dewasa ini menjadi fenomena di beberapa negara. Radikalisme sekuler-liberal masuk perlahan-lahan ke dalam sistem nasional sesuatu negara dan bahkan diadopsi sebagai sistem aktual dan operasional.
”Celakanya, banyak elite politik tidak menyadari, bahkan terbawa arus mengembangkan isu ancaman radikalisme agama. Sementara mereka tengah mengancam eksistensi negara mereka sendiri,” tuturnya.
Para elite politik demikian, kata Din, biasanya memberi penafsiran subjektif-manipulatif terhadap ideologi nasional dan menjadikannya sebagai amunisi untuk menyerang pihak lain atas dasar klaim monopolistik terhadap ideologi nasional tersebut.
Pada bagian lain pidatonya, Din Syamsuddin yang juga Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta, berpesan kepada para tokoh agama-agama dunia untuk mengawal negara-bangsa di mana mereka berada.
”Agama harus menjadi pemecah masalah kebangsaan (problem solver), bukan menjadi bagian dari masalah (part of the problem), apalagi menjadi pencipta masalah (problem maker),” tambahnya.
Karena itu, sambung dia, agama-agama harus mampu menampilkan paradigma etik bagi pembangunan nasional agar pembangunan tidak salah arah dan hilang mutiara moral.
Jika itu terjadi, maka peradaban akan berubah menjadi kebiadaban. Din Syamsuddin juga memesankan kepada elite politik agar tidak alergi dan sinis terhadap agama. Karena sebuah negara-bangsa, dengan ideologinya masing-masing akan semakin kuat dengan etika dan moralitas keagamaan. (*)
Editor Sugeng Purwanto