PWMU.CO – Dalam peringatan milad 107 tahun, Muhammadiyah merilis jumlah amal usaha yang dimiliki di antaranya masjid dan mushala sebanyak 20.198 unit, rumah sakit dan klinik sebanyak 583 unit. Bersama amal usaha lainnya antara lain sekolah, pesantren sampai perguruan tinggi yang jika dijumlah mencapai ribuan unit.
Dengan jumlah amal usaha sebanyak itu banyak pihak yang menyebut Muhammadiyah dan Aisyiyah sebagai ‘konglomerat’. Istilah konglomerat sendiri baru muncul tahun 90-an awal ketika grup Astra, Salim, Sinar Mas, Lippo, Ciputra, Barito Pacific, dan sebagainya melakukan konsolidasi organisasi bisnisnya yang beraneka jenis.
Grup-grup bisnis yang pemiliknya disebut taipan dengan genggaman aset bisnisnya mencapai 90 persen di Indonesia. Jumlah para taipan sendiri yang kebetulan mayoritas etnis Tionghoa di Indonesia hanya berjumlah sekitar lima persen.
Lima persen kelompok minoritas menguasai sembilan puluh persen ekonomi nasional, adilkah ini? Jika hanya membicarakan azas keadilan tentu tidak adil. Tetapi lebih tidak adil jika hanya fokus pada ras atau etnis mereka tanpa mencari tahu rahasia sukses mereka.
Yang jelas para konglomerat ini merintis usahanya dari bawah dengan bekerja keras, mulai dari satu jenis usaha kemudian menjadi aneka sektor usaha.
Dari banyak usaha tersebut kemudian dilakukan konsolidasi catatan aset, utang, ekuitas, pendapatan, beban hingga laba ruginya. Dari proses konsolidasi ini melahirkan penguasaan ekonomi dari hulu hingga hilir.
Praktik ini dalam perkembangannya sempat dituduh melakukan monopoli. Tapi atas jerih payah lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lambat laun praktik demikian bisa ditertibkan.
Konsolidasi “ala” konglomerat terbukti mampu menyatukan visi misi usaha, mengendalikan efisiensi dan sumber daya manusia yang berkualitas secara standar.
Memasuki usia 107 tahun, anggapan serta harapan masyarakat bahwa Muhammadiyah sebagai konglomerat penting untuk diwujudkan. Inventarisasi aset-aset yang berjumlah ribuan dan konsolidasi laporan keuangan sebagai langkah awal menjadi konglomerat. Konsolidasi aset persyarikatan selanjutnya bisa menjadi modal dalam mewujudkan ketahanan ekonomi Persyarikatan secara lokal, regional, dan nasional.
Sebagaimana yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam membangun ketahanan ekonomi lokal tingkat kampus. Dalam Suara Muhammadiyah edisi 104 disebutkan bahwa UMY mewujudkan ketahanan ekonominya dengan pendekatan lima hal: accounting, entrepreneurships, demand pull, tax literacy dan digitalisasi.
Dengan accounting ribuan amal usaha bisa diketahui jumlah kas yang beredar dalam satu tahun meliputi pemasukan dan pengeluarannya. Dari data tersebut bisa terlihat pos pengeluaran terbesar yang bisa dipasok oleh warga Muhammadiyah sendiri.
Untuk bisa memasok kebutuhan amal usaha perlu dibangun jiwa entrepreneurships (kewirausahaan). Dengan kewirausahaan akan hadir unit-unit usaha dengan pasar yang jelas yaitu amal-amal usaha sendiri. Tidak kalah penting juga yaitu kebijakan demand pull (tarikan kebutuhan) berupa anjuran untuk memprioritaskan menggunakan produk warga persyarikatan sendiri.
Tax literacy atau pengetahuan dan pemahaman perpajakan penting untuk menjaga kelangsungan amal usaha. Sering kali lemahnya pengetahuan perpajakan justru menimbulkan inefisiensi di kemudian hari karena denda, sanksi, penyiitaan aset dan sebagainya.
Digitalisasi sebagai keniscayaan menghadapi era industri 4.0 dan alhamdulillah bertepatan dengan milad ke-107 telah diluncurkan situs iuranmu.org sebagai sarana kemudahan bagi anggota persyarikatan menunaikan kewajiban membayar iuran.
Ada pepatah “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Anggapan dan keinginan warga menjadikan persyarikatan sebagai konglomerat sebagai tanggung jawab seluruh pihak mulai dari ranting hingga pusat termasuk amal usaha dan ortom.
Setidaknya jika semua lapisan dan tingkatan menjalankan proses accounting, entrepreneurship, demand pull, tax literacy dan digitalisasi insyaallah mewujudkan Muhammadiyah-Aisyiyah sebagai konglomerasi bukanlah sebuah mimpi yang tidak bertepi. Wallahualambishawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, akuntan di Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
Editor Mohammad Nurfatoni.