PWMU.CO – Kamis (21/11/19) pagi dalam perjalanan dari bandara ke rumah duka ada seorang wartawan bertanya kenangan saya bersama Almarhum Prof Bahtiar Effendy. Dan inilah jawaban ringkas saya:
Almarhum adalah sahabat karib saya sejak di Fakultas Ushuluddin IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1980-an hingga sama-sama melanjutkan studi ke Amerika pada 1986. Kami juga sama-sama mewakili pemuda Indonesia pada Konferensi Dunia Agama untuk Perdamaian di Nairobi Tahun 1984. Sejak itu kami bersahabat dekat seperti saudara sendiri.
Almarhum adalah teman sehati, mitra diskusi, dan debat. Dan saya pula yang mengajaknya bergabung dan aktif di Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Bahtiar Effendy adalah sosok cendikiawan sejati dan penulis. Pendidikannya di dua dunia, tradisi pesantren dan kebebasan Barat, membawanya kepada pemaduan pendekatan doktrinal dan empirikal tentang Islam dan umat Islam. Penguasaannya akan metode ilmu-ilmu sosial memberinya pisau analisis yang tajam dalam membaca fenomena sosiologis umat Islam.
Sepulang dari Amerika pada 1991 kami berdua memimpin (saya sebagai direktur dan almarhum sebagai wakil direktur) Centre for Policy and Development Studies/CPDS yang antara lain berusaha mendekatkan hubungan umat Islam dengan ABRI dan antara Islam dan Negara. Saat itu CPDS ini didukung oleh Mayjen Prabowo Subianto.
Sebagai anak pesantren, komitmen almarhum terhadap kepentingan umat Islam sangat kuat, maka dia concerned dan engaged dalam problematika politik Islam di Indonesia.
Terakhir almarhum geram jika ada perlakuan yang tidak adil terhadap umat Islam. Namun, dia tidak mau menyampaikannya secara terbuka, sehingga sering mendorong saya untuk berbicara. Almarhum adalah ilmuwan kritis tapi bukan tipe ilmuwan yang menggebu-gebu mengeritik di ruang publik.
Almarhum adalah pendiri sekaligus dekan pertama FISIP UIN Jakarta. Dia juga yang memulai ide pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Banyak idenya tentang pengembangan dan penguasaan ilmu-ilmu sosial di kalangan mahasiswa Islam, namun belum sepenuhnya terwujud lewat FISIP UIN Jakarta.
Sebagai muhajirun di Muhammadiyah (almarhum berasal dari keluarga NU; bapaknya Bendahara NU di Ambarawa dan adiknya Bendahara PP GP Ansor dan PPP), dia menerima Muhammadiyah secara sejati dan cenderung fanatik. Hal itu ditandai dengan kegeramannya terhadap pihak luar yang menjadikan Muhammadiyah ‘target politik’, atau perilaku orang dalam yang dinilainya merugikan Muhammadiyah.
Selama menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015 saya banyak mendengar kritik dan sarannya. Nyaris almarhum menjadi ‘penasehat politik’ bagi saya, dan saya berperan sebagai semacam ‘penasehat spritual’ baginya.
Almarhum kemudian terpilih sebagai anggota PP Muhammadiyah periode 2015-2020 sebagai Ketua Bidang Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri hingga akhir hayatnya.
Masih ada obsesi almarhum yang sejalan dengan obsesi saya dan belum menjadi kenyataan adalah relasi Islam dan negara di Indonesia yang belum simbiotik-mutualistik dan proporsional.
Semoga semua jasanya menjadi amal jariah yang diganjari Allah SWT; dan semoga sakit yang dideritanya sejak lama menjadi penghapus dosa-dosanya. (*)
Kolom oleh Prof Din Syamsuddin.