PWMU.CO – Rasanya belum terlalu lama saya berinteraksi dengan almarhum Prof Bahtiar Effendy, baik secara langsung saat acara-acara di Muhammadiyah, maupun di sebuah grup aktivis politisi Muhammadiyah.
Kini, saya, dan kita, telah kehilangan salah satu tokoh penting cendekiawan Muslim Indonesia, yang telah secara sangat cermat memetakan transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia. Mas Bahtiar, begitu dia kami sapa, telah meninggalkan kita, Kamis (21/11/19) dini hari di RSI Cempaka Putih Jakarta.
Buku karya besarnya: Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, yang berasal dari disertasi berjudul Islam and State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia adalah salah satu ‘kitab babon‘ yang kami bedah khusus saat masih menjadi aktivis jalanan di Kota Malang dan Jakarta, beberapa saat setelah Reformasi 1998.
Sebagai catatan, almarhum meraih gelar doktor di Departemen Ilmu Politik Ohio State University, Amerika Serikat, di bawah komite profesor terkemuka: R.William Liddle, Anthony Mughan, Stephen Dale, dan Donald McCloud.
Buku itulah yang menjadi bagian proses panjang kami mencari format gerakan politik umat Islam pascareformasi, yang seolah harus terhenti ketika secara politik, umat Islam yang diwakili oleh para elitnya, tetap tidak bisa bersatu.
Harapan kami sempat membuncah, ketika secara cerdas Poros Tengah yang dimotori oleh Mas Amien Rais berhasil mencapai posisi puncak prestasi politik santri. Saat itu Mas Amien Rais sebagai Ketua MPR, Bang Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR, dan Gus Dur sebagai Presiden keempat Republik Indonesia.
Tapi kekhawatiran pada para tokoh umat itu—mengacu pada trauma sejarah Masyumi di era 1950-an—begitu besar: akan meletus kembali konflik baru di internal gerakan politik Islam Indonesia.
Waktu itu Mas Bahtiar mengingatkan Mas Amien untuk sekuat tenaga menjaga harmoni reformasi di antara sesama politisi Muslim, sekaligus terus mewaspadai adanya gerakan luar yang kembali ingin memecah soliditas umat.
Hingga, terjadilah apa yang sudah terjadi. Catatan sejarah politik umat Islam pascareformasi—bahkan hingga hari ini— masih berada dalam masa suram.
Saham terbesar selalu diberikan oleh umat ini untuk negeri. Dari merebut kemerdekaan, meruntuhkan otoriterisme Orde Lama, hingga mengakhiri rezim Orde Baru.
Namun, umat ini bukanlah penikmat hasil reformasi 1998. Kembali terulang siklus sejarah. Politisi Muslim sengaja dipinggirkan dan dikalahkan secara paksa. Betapapun para aktivis politik Muslim berjibaku memenangkan rezim, tiada balas budi yang sepadan dan adil.
Bukan mereka yang mendapatkan prioritas memerankan panggung kuasa. Namun, ironisnya justru anak para taipan yang bahkan masih ingusan, dapat dengan lenggang kangkung bermain petak umpet di istana. (*)
Ciputat, 24 Rabiul Awal 1441
Kolom oleh Qosdus Sabil, Wakil Sekretaris Bidang Kebijakan Publik LHKP PP Muhammadiyah 2010-2015, Penasihat PRM Legoso, Ciputat 2019-2024