PWMU.CO – Vietnam benar-benar bikin pusing para petinggi Indonesia. Negeri yang tahun 1970 masih ‘dihajar’ AS itu berhasil menarik banyak investor China untuk merelokasi perusahaanya ke negara mereka.
Sebagai dampak perang dagang antara China dan AS 2018, sebanyak 23 dari 33 investor merelokasi perusahaannya dari China ke Vietnam. Sisanya menyebar ke negara-negara ASEAN lain seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, Malaysia, dan tidak satu pun yang merelokasi ke Indonesia.
Presiden Jokowi kelihatan merasa tidak nyaman dengan perkembangan ini. Ia meminta para menterinya memperbaiki iklim investasi di Indonesia, antara lain dengan meminta menyederhanakan tak kurang dari 72 Undang-undang terkait melalui apa yang disebut dengan Omnibus Law.
Indonesia tidak hanya keok dari Vietnam dalam urusan investasi, tapi juga dalam urusan pengembangan budaya literasi masyarakat. Menurut release Programme for International Student Assasement (PISA) 2015, anak-anak Vietnam berada di peringkat 8 papan atas dari 72 negara dalam soal kemahiran membaca. Sedangkan anak-anak Indonesia di rangking 9 dari bawah.
Dalam dengar pendapat Komisi X DPR RI dengan Perpustakaan Nasional, Selasa (22/11/19), saya mengapresiasi keterbukaan akses informasi Perpustakaan Nasional yang berhasil menempati nomor teratas di dunia. Namun kita belum berhasil meningkatkan budaya literasi masyarakat sebagaimana yang kita harapkan.
Kesungguhan pemerintah Vietnam dalam menumbuhkan budaya literasi bisa dilihat dari penerbitan buku. Negeri itu berhasil mencetak buku dua kali lipat lebih banyak dari jumlah buku yang diterbitkan oleh Indonesia. Padahal jumlah penduduk kita lebih dua kali lipat dibanding Vietnam.
Karena itu dalam dengar pendapat itu, saya meminta Kepala Perpustakaan Nasional untuk mempelajari keberhasilan Vietnam dan menjadikannya sumber inspirasi dalam mengembangkan perpustakaan di Indonesia.
Hari pesta baca buku yang diselenggarakan perpustakaan Nasional Vietnam selalu diikuti masyarakat luas, tua maupun muda.
Masalahnya, di Indonesia perpustakaan belum dipandang sebagai solusi peningkatan budaya literasi masyarakat, termasuk oleh pejabat di negeri ini, khususnya pejabat di Kementerian Keuangan.
Meski kalangan DPR mendukung Perpustakaan Nasional untuk mendapatkan alokasi anggaran yang cukup tetapi tidak berhasil meyakinkan penentu kebijakan di kementerian keuangan untuk mendapat kenaikan anggaran.
Justru yang diperoleh sebaliknya, penurunan. Anggaran 2020 turun lebih seratus miliar. Oleh karena itu bisa dimaklumi jika budaya oral lebih dominan di masyarakat ketimbang literal.
Bukan hanya di ruang kuliah, di kelas, atau di depan pengkhutbah masyarakat mendengarkan ceramah. Menunggu lampu merah, pengguna jalan pun harus mendengarkan orasi kepolisian yang diputar melalui rekaman kaset, mengajak mematuhi rambu dan berlalu lintas dengan tertib.
Sementara di negara-negara maju pemberitahuan di tempat umum seperti itu disampaikan secara literal dalam bentuk running text, dan bukan disampaikan secara oral.
Karena itu saya meminta Kepala Perpustakaan Nasional untuk terus berikhtiar membangun perpustakaan menjadi pusat literasi, riset, pertumbuhan dan inovasi. Bahkan jadi pusat pelestarian sejarah Indonesia yang kaya akan khazanah intelektual.
Jangan mau kalah dengan perpustakaan luar negeri, yang justru mereka simpan manuskrip kuno kita. British Library saja menyimpan manuskrip kuno. Saya lihat ada Serat Damarwulan di sana. Di perpustakaan yang berdiri di tengah kota London itu juga menyimpan mushaf Alquran yang ditulis tangan oleh Pakuningrat dari Sumenep tahun 1792. (*)
Kolom oleh Prof Zainuddin Maliki, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).