PWMU.CO – Hubungan antara seorang Mukmin dan Rasulnya bukan hubungan biasa. Tapi hubungan di atas segalanya, setelah Allah SWT, tentunya. Hal yang menjadikan banyak pihak terkejut-kejut ketika melihat umat ini begitu cinta kepadanya. Kecintaan yang melebihi segalanya setelah Allah.
Hubungan itu bukan sekadar hubungan alami yang memang “taken for granted”, Tapi sebuah hubungan yang dipilih (chosen). Dalam bahasa Arab kata “pilihan” salah satunya diekspresikan dengan kata “ikhtiyar”. Menakjubkan kemudian kata “ikhtiyar” itu juga ternyata berakar sama dengan kata “Khaer” atau yang terbaik.
Maka hubungan yang terbangun karena pilihan (by choice) melahirkan hubungan yang terbaik. Sehingga semua yang terkait dengan hubungan ini juga menjadi terbaik.
Salah satu hal yang terkait dengan relasi ini adalah bahwa hubungan ini terbangun di atas kecintaan yang dipilih (love by choice).
Cinta ayah itu alami. Cinta ibu itu alami. Cinta anak itu alami. Bahkan cinta keluarga dan dunia itu alami. Tapi cinta Rasul bukan sekadar alami. Tapi sebuah pilihan. Karenanya cinta Rasul itu adalah cinta terbaik ba’dallah (setelah Allah). Cinta inilah yang menjadi kunci iman. Sekaligus kunci surga.
Rasulullah SAW mendeklarasikan: “Tak beriman di antara kalian sampai dia mencintai saya lebih dari mencintai orang tuanya, anaknya dan semua manusia.”
Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada beliau: “Kapan kiamat terjadi?” Beliau diam. Sahabat itu bertanya hingga tiga kali. Barulah Rasulullah menjawab dalam bentuk pertanyaan: “Lalu apa yang kamu telah persiapkan?”
Sahabat itu menjawab: “Tidak banyak ya Rasulullah. Tapi saya mencintai Allah dan RasulNya”. Artinya modal utama bagi sahabat dalam menghadapi kiamat atau kematiannya adalah “cinta Allah dan Rasulullah SAW.
Rasul kemudian meyakinkan: “Kamu akan bersama di surga nanti dengan siapa yang kamu cintai”.
Sebuah penguatan bahwa kecintaan kita kepada Rasul adalah kunci surga. Bahkan sebuah kemuliaan yang dicari oleh setiap Mukmin. Bersama dengan beliau di surgaNya Allah kelak.
Kecintaan seorang Mukmin tertanam ke dalam relung kalbu yang paling dalam. Cinta yang mengalir bersama aliran darah kehidupannya. Begitu dalamnya cinta itu sehingga seorang Sahabat mampu berhadapan dengan ayahnya sendiri dalam sebuah peperangan. Memang sedarah tapi tidak sehati.
Para Sahabat Rasulullah memiliki ragam latar belakang etnis, ras, dan warna kulit. Di tengah perbedaan itu semua mereka disatukan oleh satu hal: ikatan hati. Itulah yang kemudian diekspresikan oleh Alquran: “Muhammad Rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya. Mereka tegas kepada orang-orang kafir (kekufuran) namun penuh kasih sayang (ruhama) di antara mereka”.
Ayat ini menegaskan bahwa “rahmah” itulah yang menjadi dasar “hubungan” antara sesama Muslim. Tentu yang paling penting dari semua itu adalah bahwa relasi antara seorang Muslim dan Rasulullah SAW adalah relasi “kasih sayang” (rahmah). Rahmah yang tertanam kokoh dalam hati setiap Mukmin.
Bilal adalah seorang Habsyi (Ethiopia), berkulit hitam dan mantan budak. Salman adalah seorang keturunan Persia. Sementara Suhaeb adalah seorang yang bersosok bangsa Roma (pria bule dalam bahasa jalanan).
Tapi mereka semua dia atas itu tidak kurang cintanya kepada baginda Nabi Muhammad SAW dari sahabat lainnya dari kalangan Arab Quraysh. Barangkali contoh terdekat dalam sejarah adalah bagaimana kecintaan Bilal Al-Habasyi kepada baginda Rasulullah SAW. Sampai-sampai beliau tidak sanggup lagi menetap di Madinah sepeninggal beliau SAW. Tidak tahan ketika selesai mengumandangkan azan beliau tidak lagi melihat wajah Rasul yang mulia.
Hingga saat ini, bahkan hingga akhir zaman nanti, orang-orang di perkampungan, pegunungan-pegunungan, bahkan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekalipun ketika nama baginda Rasulullah disebut hatinya secara otomatis merasakan cinta dan kerinduan itu.
Mereka merindukannya. Mereka bahkan ingin sekadar bermimpi berjumpa di dunia ini. Cita-cita terbesarnya setelah kematian nanti, selain menatap wajah Ilahi (ilaa Rabbiha naazhirah). Juga ingin agar kiranya di surga nanti mereka dapat membersamai (in the company) Rasulullah SAW.
Karenanya hanya orang yang berakal kerdil dan berhati beku yang tidak menyadari kemuliaan Rasul serta tidak merasakan kecintaan kepada beliau.
Tentu lebih aneh lagi ketika sikap seperti itu justru datangnya dari mereka yang mengaku beriman kepadanya. Sungguh sebuah paradoks besar sekaligus kemunafikan yang nyata. Tapi itulah dunia kita. (*)
Subway NYC, 22 November 2019
Kolom oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani.