PWMU.CO – Cinta Mukmin kepada Rasulullah SAW itu adalah cinta pilihan. Cinta pilihan bentuk cinta yang tertinggi dan dahsyat. Karena cinta demikian pastinya melalui mujahadah atau perjuangan.
Cinta yang dahsyat itu yang kemudian tertanam kokoh dalam dada setiap Mukmin. Rasa emosi itu bahkan mengalir di setiap denyut nadi hidupnya. Seorang Mukmin tidak akan ragu mengorbankan, bahkan hidupnya sakalipun, demi kemuliaan Rasulnya.
Tapi cukupkah dengan rasa emosi atau sentimen? Tentu tidak. Justru emosi atau sentimen itu tak ubahnya energi pada kendaraan. Apalah arti energi yang hebat dengan mesin besar kendaraan itu jika kendaraan itu tidak terpakai.
Maka sentimen kecintaan itu perlu diwujudkan dalam bentuk realita hidup. Mewujudkannya dalam bentuk realita hidup inilah yang diekspresikan dalam Alquran dengan ittiba (mengikuti). Sebagaimana firman Allah: “Katakan (hai Muhammad) jika kamu mencintai Allah (dan tentu RasulNya) maka ikutlah kepadaku niscaya Allah akan mencintaimu”.
Ayat Alquran ini menggarisbawahi bahwa cinta Allah dan Rasul itu bukan sekadar “ekspresi emosi”. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana rasa itu teraplikasikan dalam bentuk realita hidup.
Mengaplikasikan atau merealisasikan rasa cinta kepada Rasul itulah yang dikenal dengan beruswah kepadanya. Atau dalam bahasa Yang lebih populer bersunah kepada Rasulullah SAW.
Atau dalam bahasa yang lebih umum “taat” kepadanya. Sebagaimana disabdakan: “Semua umatku masuk surga kecuali yang membangkang”. Para Sahabat bertanya: “Siapa yang membangkang ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang mentaatiku masuk surga. Dan barangsiapa yang tidak mentaatiku (ashoni) maka dia telah membangkang.”
Aktualisasi cinta dalam bentuk ketauladanan kepada baginda Rasul ditegaskan dalam Alquran: “Sungguh ada bagi kamu pada Rasulullah ketauladanan yang baik.”
Mengikut kepada ketauladanan Rasul atau mengaktualkan sunahnya (jalan hidupnya) dalam kehidupan nyata itulah tingkatan cinta tertinggi.
Masalahnya adalah banyak di kalangan umat ini yang memahami sunah Rasul secara diskriminatif. Dengan kata lain kerap kali sunah itu dipahami secara parsial (sebagian-sebagian). Atau tidak jarang juga diambil secara diskriminatif. Diambil sebagian yang dianggap sesuai. Lalu ditolak sebagian karena dianggap tidak sesuai (dengan hawa nafsu).
Betapa umat ini kerap bertengkar, saling menyalahkan dan membidahkan dalam hal-hal ritual ubudiyah. Tidak jarang (wal-iyadzu billah) ada yang merasa lebih sunah dari yang lain. Dengan kata lain lebih vulgar, sering terjadi arogansi, merasa paling sunah, dalam hal ritual ubudiyah.
Sesungguhnya tanpa disadari menyikapi sesama dengan cara seperti di atas merupakan pelanggaran nyata kepada sunah. Karena sunah Rasulullah SAW dalam menyikapi perbedaan-perbedaan ritual ubudiyah itu pada umumnya disikapi secara lapang dada (tasamuh). Selama memang masih menyangkut urusan-urusan furu’iyah dari agama. Bahkan beliau mengedepankan sikap positif, membenarkan selama masih ada celah untuk membenarkan secara syar’i.
Bukan seperti sebagian justru cepat menyalahkan. Merasa paling benar dan paling sunah. Runyamnya, tidak jarang sikap pengakuan sunah seperti itu justru berujung pada friksi (perpecahan) di kalangan umat Islam.
Akibatnya terjadi paradoks nyata. Terjadi pelanggaran sunah (secara sosial) atas nama sunah (secara ritual).
Maka sekali lagi, sunah Rasul SAW itu mencakup seluruh aspek hidup manusia. Tidak ada satu hal apapun dalam hidup manusia kecuali ada kaitan dengan sunnah Rasulullah SAW. Dari ujung kepala ke ujung kaki. Lahir dan batin. Urusan pribadi, keluarga, masyarakat. Bahkan dalam urusan internasional (global affairs) sekalipun ada kaitan sunah Rasulullah SAW.
Bagaimana tidak? Beliau adalah manusia biasa yang tentu menjalani hidup personalnya. Beliau shalat, pausa, haji dan melakukan ibadah lainnya. Tapi beliau juga adalah makan, minum, tidur, kawin, bergaul dengan teman, dan seterusnya.
Tidak kalah pentingnya juga, beliau adalah bisnisman, guru dan pendidik, dai dan penceramah. Tapi juga politisi, administrator (pemerintah) dan bahkan panglima perang.
Pada semua itu ada sunah-sunah atau uswah hasanah (ketauladanan yang baik) untuk diikuti oleh umatnya.
Saya biasanya membagi sunah itu kepada 4 bagian dalam kehidupan manusia. 1) Sunah dalam keyakinan (iman). 2) Sunah dalam ritual ubudiyah. 3) Sunah dalam karakter personal atau kepribadian. 4) Sunah dalam aspek sosial dan urusan publik. (*)
Bogota, Kolombia, 23 November 2019
Kolom oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.