PWMU.CO – Masjid Al-Amanah Kota Mojokerto adalah masjid kecil dengan ukuran 10×10 m2. Lahan parkirnya pun tidak jauh beda dengan luas masjidnya. Namun demikian masjid yang selalu bersih dan terawat ini ramai dikunjungi jamaah.
Menurut Ustdz Juwari, salah satu takmir, Masjid Al-Amanah punya komitmen tinggi di dalam tradisi ngaji dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Masjid yang memiliki koleksi literatur berbahasa Arab cukup lengkap ini setiap bulannya mengadakan pembahasan tiga kitab turats, yaitu kitab Sahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, dan kitab fikih Bidayatul Mujtahid.
Pembahasan kitab Bidayatul Mujtahid berlangsung sudah cukup lama, yaitu sekitar lima tahun. Saya sendiri yang mengasuhnya.
Pembahasan malam hari ini, Senin (25/11/19), sampai pada juz pertama halaman 63, tentang Fikih Wanita, yaitu Makna Suci dari Haid sebagaimana terdapat dalam Surat Albaqarah Ayat 222.
Para fukaha telah sepakat bahwa haid atau datang bulan menyebabkan seorang perempuan dilarang melakukan empat perkara, yaitu shalat, puasa, thawaf, dan hubungan intim suami istri. Larangan yang terakhir ini berdasarkan Surat Albaqarah Ayat 222.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid Katakanlah: ‘Haid itu adalah suatu kotoran’, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Para fukaha berbeda pendapat tetang makna suci dari haid. Hal ini disebabkan oleh fakta bahasa. Dalam bahasa Arab dan leksikon syara’, kata ‘suci dari haid’ memiliki tiga makna, yaitu berhentinya darah haid, berhentinya darah haid ditindaklanjuti dengan mencuci bersih tempat haid, dan berhentinya darah haid yang ditindak lanjuti dengan mandi besar.
Imam Abu Hanifah berpendapat makna ‘suci dari haid’ adalah berhentinya darah haid. Konsekuensinya boleh melakukan hubungan intim walaupun istrinya belum mandi janabah, karena ukuran suci adalah berhentinya darah.
Sementara itu jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa makna ‘suci dari haid’ adalah berhentinya darah haid yang ditindak lanjuti dengan mandi janabah. Konsekuensinya boleh melakukan hubungan intim, jika istrinya sudah mandi janabah. Karena tolak ukur kesucian wanita yang haid adalah saat sudah mandi janabah.
Para fukaha berbeda pendapat tentang suami yang berhubungan badan dengan istrinya yang haid. Kok bisa? Bukankah haram hukumnya. Hal yang demikian ini bisa saja terjadi, yaitu di tengah-tengah hubungan intim tiba-tiba saja istrinya kedatangan tamu bulanan itu.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa laki-laki tersebut didenda 1 dinar atau setengah dinar. Ahmad bin Hanbal mendasarkan pendapatnya pada hadis Abdullah bin Abbas. Sekelompok ahli hadis berpendapat, jika seperti itu kejadiannya maka didenda 1 dinar. Jika menggauli istrinya yang sudah berhenti darah haidnya namun belum mandi didenda setengah dinar. Imam al-Auza’i berpendapat bahwa laki-laki tersebut di denda 2/5 dinar.
Jumhur ulama berpendapat semua hadits yang berkenaan dengan sangsi atau denda bagi suami yang menggauli istrinya padahal haid, tidak ada yang sahih. Sehingga persoalannya dikembalikan kepada asalnya. Yaitu bahwa asal setiap perbuatan mukallaf itu tidak ada sanksinya, sampai ada dalil yang menegaskannya.
Pengajian kitab Bidayatul Mujtahid diadakan setiap Senin keempat setelah shalat Maghrib. Pertemuan bulan depan insyaallah akan membahas Fikih Orang-Orang yang Hadas Permanen. (*)
Penulis Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor Mohammad Nurfatoni.