PWMU.CO-Bulan November 2019 kita memperingati dua agenda penting. Pertama, peringatan kelahiran reformer besar Nabi Muhammad saw. Atas ajaran yang dibawa menjadi pegangan hidup dunia akhirat.
Kedua, peringatan kelahiran Muhammadiyah. Milad merupakan momen untuk merenungkan kembali perjuangan Muhammadiyah dalam meneruskan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Prof Dr Achmad Jainuri dalam pidato resepsi milad yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di GOR Baluran Situbondo, Sabtu (30/11/19).
Jainuri menambahkan, pengaruh ajaran Nabi Muhammad sampai sekarang terus berkembang. Di dunia Barat semakin hari Islam tidak semakin susut tetapi semakin bertambah dan berkembang pesat.
“Kami menyaksikan sendiri fenomena ini karena tujuh tahun berada di negara mereka. Anehnya timur mulai mengesampingkan Islam, sementara barat sebaliknya,” ujarnya.
Prof Michael Hart, lanjutnya, menulis buku 100 tokoh dunia dan menempatkan Nabi Muhammad nomor satu. “Padahal saat itu jumlah umat Islam masih kecil dibandingkan Kristen dan Katolik. Alasannya perkembangan Islam yang luar biasa adalah pengaruh Nabi secara langsung,” ungkapnya.
Ini sebuah kajian yang objektif, sambung dia, karena Michael Hart bukan muslim tetapi dia melihat fenomena di luar agamanya.
Di barat, sambungnya, saat ini dakwah Islam diteruskan oleh kalangan selebritis seperti artis dan para olahragawan terkenal. “Contohnya banyak pemain bola Inggris yang muslim sehingga pemerintah Inggris berupaya memberikan tempat ibadah bagi mereka dengan mengizinkan pendirian masjid,” jelasnya.
Di Indonesia sendiri semoga semakin bertambah jumlah kualitas, bukan hanya kuantitasnya. Proses reislamisasi atau pengislaman kembali terus dilaksanakan. Islam kita ini masih terus berproses. “Kapan sempurnanya tidak ada yang tahu. Sampai kita meninggalkan dunia yang fana ini,” katanya.
Menurut Jainuri, tema mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi acuan Muhammadiyah dalam memajukan masyarakat Indonesia. “Nama Muhammadiyah itu dinisbahkan dan dikaitkan sebagai pengikut nabi. Maknanya warga Muhammadiyah terikat untuk menjalankan ajaran nabi,” terangnya.
Dalam sejarah kelahiran dan pertumbuhannya pada awal abad ke-20, ujarnya, keberadaan Muhammadiyah adalah upaya untuk melepaskan diri dari lingkungan penjajah barat terutama Belanda. Tahun 1926 berdiri Nahdlatul Ulama oleh KH Hasyim Asy’ari. Tokoh ini juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
“Fenomena dua organisasi Islam besar di Indonesia ini menarik. Semua tokoh pendirinya adalah alumni Mekah dan Madinah. Mereka mukim di sana setelah berhaji,” kisahnya.
Kalau dulu mukim itu untuk mencari ilmu. Berbeda dengan sekarang, untuk mencari fulus. “Tetapi tidak masalah, asalkan halal dan daripada mencuri atau korupsi,” tuturnya.
Dia menegaskan, Indonesia tanpa dua organisasi ini bisa habis. Maka harus dijaga dan mempererat persaudaraan. Terkadang sulit karena ego masing-masing kelompok.
“Maka harus dipikirkan bagaimana menyatukan kepentingan masing-masing kelompok untuk bersama-sama membangun Indonesia. Dan mengamankan Indonesia dari ancaman luar dan dalam negeri,” ajaknya.
Kalau bersatu Insya Allah Indonesia akan semakin besar. Kalau terus bertengkar atau bercerai berai maka akan mudah dilemahkan dan dipecah belah oleh pihak lain.
Jasa dua tokoh besar ini, menurutnya, sangat besar dalam konteks Islamisasi Indonesia. KH Hasyim Asy’ari fokus di pedalaman dengan banyak mendirikan pondok pesantren. “Kawasan yang disentuh biasanya dulunya kawasan molimo, yakni madat (candu), minum (mabuk), madon (main wanita), main (judi) dan maling (mencuri) seperti di Cukir Tebuireng,” urainya.
Sementara KH Ahmad Dahlan fokus daerah perkotaan seperti Yogya dengan mendirikan sekolah umum. ”Mengapa dipilih sekolah umum. Karena dulu umat Islam kalau diajak berbicara masalah sosial, politik dan ekonomi masih susah sebab kebanyakan berlatar pendidikan agama saja,” terangnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, NU juga banyak mendirikan sekolah umum dengan tidak mengesampingkan pendidikan agama. “Begitu pula sebaliknya, Muhammadiyah mulai banyak mengembangkan pendirian pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum,” jelasnya. (*)
Penulis Sugiran Editor Sugeng Purwanto