PWMU.CO – Masih terngiang di benak penulis sebuah warning yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam peresmian Universitas Muhammadiyah Lamongan, 20 November 2018.
Dalam salah satu pesannya dia menyampaikan tentang era industri 4.0 yang ditandai dengan hadirnya perangkat kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam hampir seluruh lini ekonomi dan kehidupan.
Era AI telah menggeser era dot com yang booming pada awal tahun 2000, di mana banyak muncul perusahaan internet dan banyak perusahaan biasa membangun situs webnya. Perjalanan situs web mendorong perkembangan mesin pencari Google, Yahoo dan sejenisnya. Teknologi SEO (search engine optimations) hadir menjadi pelengkap untuk ‘merekayasa’ rangking sebuah situs web di mesin pencari.
Teknologi SEO terakhir bergeser ke AI yang memungkinkan sebuah situs web atau informasi digital apa saja bisa menarik perhatian atau viral. AI telah mengubah gaya dan budaya kerja masyarakat serta dampaknya dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik mulai terasa (bagi yang peka).
Jika baru-baru ini ada wacana dari Presiden Joko Widodo untuk mengganti jabatan eselon tiga dan empat dengan kecerdasan buatan, seharusnya khalayak tidak perlu terkejut. Teknologi AI memungkinkan suatu pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien tanpa melibatkan banyak sumber daya manusia.
AI memungkinkan sebuah produk barang, jasa, berita, bahkan sebuah pesan penting menemukan sasaran pasarnya dengan akurat. Semua situs online mutakhir dan viral pada hari ini sebut saja Facebook, Alibaba, Amazon, Gojek, Traveloka, dan sebagainya menggunakan teknologi AI.
Facebook misalnya, memiliki kemampuan mengenali diri dan karakter penggunanya melebihi pemilik akun itu sendiri. Dari interaksi para pengguna akunnya, Facebook mengenali karakter pemilik akunnya dari kecenderungan yang mereka baca, yang mereka posting, yang mereka komentari, yang mereka like, grup pertemanannya, jenis temannya, asal daerah dan sebagainya.
Informasi yang digali dan dihasilkan Facebook melebihi sensus yang dilakukan suatu negara dengan cara konvensional melibatkan banyak petugas sensus, berkas-berkas, dan biaya akomodasi yang tinggi.
Demikian juga dengan perilaku bisnis Gojek, Grab, dan aplikasi transportasi lainnya. Aplikasi ini tahu banyak tentang data karakter penggunanya dari rute yang sering dipesan, makanan yang sering dipesan, anggaran belanjanya, jam-jam pergi, pulang, makan dan lain-lain.
Dari data base karakter pengguna ini memberi imbal balik untuk membuat inovasi-inovasi produk pelengkap seperti Fanpage di Facebook, Gopay di Gojek dan lain-lain.
Dalam bidang media massa tidak jauh berbeda, dengan AI dapat diketahui segmen pembaca yang ingin dituju serta berita apa yang paling diminati. Kerja awak media bisa lebih fokus pada isu-isu tertentu pada kelompok tertentu dan beritanya bisa diharapkan menjadi viral dengan memanfaatkan segmen kerumunan yang ada.
Dalam bidang politik juga telah terjadi kegaduhan dari terpilihnya Presiden Donald Trump yang diduga menggunakan data dari media sosial untuk mempengaruhi calon pemilih. Konsultan politik Donald Trump “diduga” menggunakan teknologi AI untuk memengaruhi dan mengarahkan calon pemilih.
Allahu Akbar! Sebagai insan beriman pujian terbesar tetaplah harus tertuju pada Sang Pencipta akal manusia. AI sebagaimana namanya hanyalah kecerdasan buatan atau turunan dari kecerdasan manusia maha karya Allah SWT.
Secara berseloroh dalam sebuah wawancara media, Mark Zuckerberg CEO Facebook mengungkapkan kekagumannya pada sosok Al Khawarizmi, ilmuwan Muslim penemu Algoritma.
Selain Al Khawarizmi, Mark juga mengaku mendapat ilham dari kitab Muqadimah karya Ibnu Khaldun yang menuliskan tentang karakter masyarakat dan peradaban.
Embrio kemajuan teknologi dan budaya saat ini tidak lain sebagai sumbangan intelektual Muslim abad pertengahan. Karya-karya ilmuwan Muslim menjadi dasar kemajuan peradaban masa kini melalui tangan-tangan orang di luar Islam.
Barangkali benar apa yang disampaikan Dr Muhammad Iqbal, cendekiawan Muslim asal Pakistan, bahwa umat Islam sedang berhenti berpikir dalam empat ratus tahun terakhir.
Barangkali umat Islam “hanya” perlu mengembalikan tradisi berpikirnya sebagaimana era Al Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Ibnu Sina, dan tokoh pemikir lainnya di abad pertengahan.
Dengan kembali “berpikir” semoga umat Islam dapat ikut mewarnai era AI saat ini, bahkan mempersiapkan era pasca AI dengan lebih baik untuk kemaslahatan bersama. Bukan lagi menjadi korban peradaban sejak runtuhnya Andalusia, Baghdad, dan Utsmaniyah. Wallahu a’lam bi ash shawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto. Editor Mohammad Nurfatoni.