PWMU.CO – Wartawan senior Anwar Hudijono meminta Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi untuk tidak terjebak isu radikalisme. Karena, isu itu cenderung sebagai jebakan untuk membakar emosi umat Islam. Apalagi di tingkat bawah, pernyataan Haedar mengalami malinformasi.
“Karena di Muhammadiyah tidak mengenal kultus, dan selalu memegang teguh wa tawa shaubil haqqi wa tawa shaubish-sbr wa tawa shaubil marhamah, maka saya mohon izin mengingatkan Pak Haedar,” kata mantan Pemimin Redaksi Harian Surya ini, pada PWMU.CO, Kamis (5/12/19).
Menurut dia, Haedar telah memberikan pernyataan tentang radikalisme secara ilmiah dan bijaksana. Umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah bisa memahami dan menerima. “Meskipun seolah berbicara dengan onggokan batu Pak Haedar terus saja menyampaikan seolah tetesan air yang berusaha memecah batu tersebut,” katanya.
Tapi akhir-akhir ini, pernyataannya cenderung mengalami maliformasi dan disinformasi. Misalnya, tanggapan terhadap Wapres Ma’ruf Amin soal majelis taklim dalam kaitan radikalisme mengalami malinformasi untuk memantik benturan Muhammadiyah dengan NU. Pernyataan Haedar juga dipelintir hendak dibenturkan dengan pemerintah.
“Saya kira sejak dulu sudah ada skenario untuk membenturkan Muhammadiyah dengan NU. Tapi alhamdulillah para pemimpin kedua organisasi ini bijaksana untuk tidak masuk pusaran hasutan. Mereka istiqamah menjaga ukhuwah Islamiyah di tengah perbedaan jamiyah,” tegas mantan Wakil Pemimpin Redaksi Sriwijaya Post Palembang dan Bernas Yogyakarta ini.
Selanjutnya, mantan wartawan Kompas ini mengatakan, di ranah publik ada dua corak langgam wacana dalam kaitan radikalisme. Pertama, yang menyampaikan soal radikalisme secara rasional, ilmiah dan mendidik masyarakat. Misalnya, Haedar Nashir, Dien Syamsudin, Soeparto Wijoyo, KH Ahmad Zahro dan lain-lain.
Kedua, yang menyampaikan soal radikalisme tanpa didasari argumen ilmiah dan tidak dilakukan dengan cara bijaksana. Kebanyakan mereka seperti berteriak-teriak dan meludah sambil naik mobil. Setelah itu hilang. Mereka tidak mau diajak adu argumen.
“Siapa yang mendengar telinganya jadi merah ibarat mendengar kata jorok. Apalagi sampai kena ludahnya yang mungkin baunya tidak sedap, pasti akan marah. Jika sampai yang kena marah, mereka senang bukan main karena itu memang misinya memancaing orang marah, kesal dan akhirnya ribut. Tujuan akjirnya biar bangsa ini hancur berkeping-keping,” katanya.
Menurut dia, situasi demikian kemungkinan bisa berlangsung lama. Untuk itu, kelompok pertama yaitu yang menjelaskan radikalisme secara ilmiah, bijaksana, edukatif terus saja menyampaikan. Mendidik masyarakat itu sedekah. Seperti guru yang menyampaikan materi sesuai kurikulum dan silabus.
“Jangan reaktif dan terpancing mereka. Pakai ajaran Jawa saja, tunggak sik kuwat timbang gagak. Biarkan mereka terus berteriak-teriak, mengumpat, meludah, tidak usah dihiraukan. Lama-lama nanti kan kehabisan ludah atau mulutnya rusak,” katanya. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.