PWMU.CO – Di setiap akhir tahun, kita akan banyak menyaksikan atribut-atribut Natal di mall kota-kota besar. Mulai dari pohon cemara, nuansa salju, dan rusa beserta keretanya.
Di bulan Februari, atribut berganti menjadi Valentine dengan berbagai hiasan coklat di sepanjang sudut mall. Sedang di Bulan Oktober, tidak asing akan dijumpai atribut Halloween. Bahkan anak-anak merengek sambil meminta orangtuanya untuk dibelikan atribut tersebut.
Untung atribut-atribut atau budaya mereka yang lain seperti: naked day, world naked bike ride, world body painting, dan running of the nudes, tidak ikut membudaya di Indonesia.
Tidak membudaya atau belum ya? Ah semoga saja tidak. Atau jangan-jangan belum? Upps!.
Atribut-atribut di atas (Natal, Valentine, Helloween) sudah jamak kita saksikan di berbagai tempat. Ketiganya itu adalah atribut keagamaan dan budaya masyarakat non-Muslim yang jumlahnya di Indonesia hanya sekitar 13 persen dari jumlah total penduduk Indonesia.
Walaupun Islam adalah agama mayoritas, namun justru budaya minoritaslah yang mendominasi. Kita tidak sadar bahwa sebagian dari kita justru bangga mengenakan atribut mereka. Atribut-atribut keagamaan, bahkan perilaku, mereka telah membudidaya dalam kehidupan kita sebagai umat mayoritas.
Saya tidak akan membahas haram atau tidaknya atribut itu atau boleh tidaknya tasyabbuh dengan mereka. Anda bisa cari di kolom tanya jawab fikih, banyak.
Tapi, tulisan ini akan mendiskusikan persoalan tentang kenapa budaya mereka sebagai umat minoritas justru memayoritas di kalangan umat Islam yang mayoritas?
Perilaku dan budaya hedonisme, gaya hidup moralitas remaja yang tanpa batas, pola berpakaian yang jauh dari nilai-nilai Islam dan berbagai perilaku serta budaya negatif mereka yang lain, telah menjadi tren di kalangan anak remaja Indonesia.
Jika Anda keluar negeri, nilai-nilai Islam seperti: kebersihan, ketertiban, kedisiplinan, kejujuran, menghargai waktu, dan sebagainya telah membudaya di negara-negara maju yang Islam-nya sebagai kaum minoritas. Tapi nilai-nilai itu justru belum cukup membudaya di kalangan umat Islam Indonesia yang Islam sebagai mayoritas di dalamnya.
Memang tidak semua budaya mereka tidak baik, tapi justru kenapa budaya-budaya yang tidak baik itu justru yang jauh lebih membudaya daripada budaya yang baik? Padahal sejatinya itu adalah nilai dan ajaran Islam sendiri.
Masyarakat kita lebih membudayakan konsumtif dari pada produktif. Lebih membudayakan jam karet dari pada tepat waktu. Lebih nyaman bersantai dari pada disiplin. Lebih memilih berbohong dari pada jujur. Lebih terbiasa membuang sampah sembarangan dari pada di tempatnya. Lebih suka anarkisme, menyerobot dari pada budaya tertib dan antre.
Dahulu ada istilah Arabic culture, seseorang dianggap maju jika menggunakan pakaian atau berperilaku seperti orang Arab. Sekarang istilah itu bergeser menjadi Westernisasi, seseorang dianggap maju jika berpakaian dan berperilaku seperti orang-orang barat.
Kenapa seperti itu?
Karena saat ini, persepsi tentang kiblat kemajuan masih berada di Barat, karenanya jika ingin terlihat modern, ikuti budaya Barat. Sedangkan dahulu kiblat kemajuan adalah bangsa Arab, oleh sebab itu, jika ingin terlihat modern, ikuti budaya Arab.
Jika nanti suatu saat, kiblat kemajuan peradaban dan teknologi adalah Indonesia. Bisa jadi mengggunakan blangkon adalah simbol kemajuan. Mengenakan sarung ke mall merupakan cara berpakaian yang modern. Hehe …
Terlepas dari itu semua, mari kita terus berupaya membudayakan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-sehari. Agar kita tidak menjadi mayoritas dalam kuantitas, tapi minoritas dalam budaya dan perilaku. (*)
Kolom oleh M Arfan Mu’ammar, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Editor Mohammad Nurfatoni.