PWMU.CO – Dengan adanya perubahan standar kesejahteraan, perlu dikaji ulang tentang pengertian beberapa asnaf mustahiq zakat. Perlu ditafsirkan kembali tentang siapakah orang fakir, miskin, riqab, dan asnaf lainnya.
Demikian penjelasan Dr Hamim Ilyas MAg dalam Kajian Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Sabtu (7/12/19).
“Pada zaman agraris, standar ekonomi kebutuhan dasar adalah sandang, pangan, dan papan. Sedangkan zaman modern yang disebut ekonomi industri ini standarnya bertambah dengan kesehatan dan pendidikan, maka perlu adanya reinterpretasi (penafsiran baru),” ujarnya
Menurut Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu, fakir adalah orang yang tidak memiliki kekayaan dan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar. “Maka penyandang disabilitas juga termasuk karena ia kesulitan dalam beraktifitas dan mengakibatkan tidak berpenghasilan,” ujarnya.
Dan alokasi zakatnya menurut dosen syariah di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta ini bisa dengan penyantunan, pemberdayaan ekonomi, atau berupa beasiswa pendidikan. “Bahkan orang yang kehilangan harta benda karena bencana juga termasuk fakir,” jelasnya.
Dalam kajian yang bertema “Pengembangan Fikih Zakat pada Era Modern” ini ia menjelaskan juga jenis pemberdayaan yang bisa dilakukan terhadap kaum fakir. Yaitu orientasi kesejahteraan yang bisa diungkapkan dengan istilah ‘memberi ikan’ dan orientasi kemandirian atau yang disebut dengan istilah ‘memberi kail’.
“Ada juga orientasi perubahan sosial, misalnya pembuatan biopori dan penghijauan bagi lingkungan yang kekeringan dan orientasi advokasi supaya kebijakan publik bisa berpihak kepada orang fakir,” jelasnya.
Adapun, sambungnya, kriteria miskin berarti orang yang memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papa, kesehatan, dan pendidikan.
Soal riqab (budak), Hamim menjelaskan, meskipun perbudakan kini telah tiada bukan berarti menghapuskan hukum yang sudah berlaku. Karena perbudakan menurut Hamim adalah sistem sosial yang tidak berperikemanusiaan dengan legalkan diskriminasi, penindasan, dan eksploitasi.
Maka budak modern menurutnya adalah korban dari penerapan sistem sosial yang menindas dan konflik sosial serta korban eksploitasi seksual dan ekonomi.
“Jadi pembantu-pembantu (PRT) yang dipekerjakan melebihi jam tapi tidak ada kompensasi, itulah budak modern,” ujarnya.
Menyikapi fenomena guru honorer yang digaji kurang dari Rp 200 ribu, ia mengkategorikan sebagai sabilillah yang berhak menerima zakat karena sebagai jihad mewujudkan kemaslahatan umum dan untuk menjadi unggul dalam mencapai tujuan risalah Islam. (*)
Kontributor Rozaq Akbar. Editor Mohammad Nurfatoni.