PWMU.CO – Belakangan ini kita seakan-akan dihipnotis oleh berbagai pemberitaan di media terkait beberapa pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim di berbagai forum.
Dari berbagai pernyataan itu, ada yang bisa menjadi inspirasi untuk perbaikan kurikulum. Namun ada juga sebagian pernyataan yang menurut penulis tidak tepat. Yakni munculnya anggapan bahwa pendidikan kita seakan-akan belum merespon dari isu strategi perkembangan teknologi saat ini.
Ada empat pernyataan Mendikbud yang perlu kita kritisi. Pertama, anggapan bahwa apa yang sekarang dipelajari di sekolah tidak berpengaruh lagi. Tidak ada gunanya belajar dari konten dan konten tidak penting lagi.
Belajar konten (isi) dan bagaimana cara belajar adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Walaupun belajar ‘bagaimana cara belajar itu’ memiliki peran dalam membangun paradigma berpikir bukan berarti konten tidak penting.
Pembelajar itu memiliki tingkat berpikir dan psikologi yang berbeda dalam menerima ilmu pengetahuan. Tentu dua unsur itu tetap ada dan penting bagi pembelajar. Maka peran kualitas pendidik lebih penting, karena melalui pendidik, pembelajar akan lebih mudah memahai apa dan bagaimana cara belajar dari subjek yang dipelajari.
Kedua, bahasa-bahasa harus dikuasai terutama bahasa Inggris dan bahasa coding. Pernyataan tersebut tentu tidak menjadi masalah. Namun ada hal yang seakan-akan mengesampingkan peran dan fungsi bahasa Indonesia.
Sebagai bahasa pengantar dan persatuan seharusnya bahasa Indonesia diperjuangkan menjadi bahasa pengantar dunia internasional. Sebab bangsa Indonesia memiliki potensi besar dalam membangun dunia internasional. Ini sekaligus untuk menunjukan kekuatan besar bangsa Indonesia.
Ketiga subjek (mata pelajaran) yang harus dipelajari SMA dan kuliah adalah statistik dan psikologi. Tentu pernyataan tersebut tidak terlalu dipahami oleh Mendikbud secara keseluruhan. Subjek tersebut hampir sebagian sudah dipelajari pada perguruan tinggi, baik terintegrasi dengan mata pelajaran lain maupun berdiri sendiri menjadi mata pelajaran (kuliah). Terlebih di hampir semua perguruan tinggi Muhammadiyah.
Keempat, pandangan terhadap nasionalisme sempit. Pandangan atas transfer teknologi bukan baru-baru ini saja, namun itu sudah dijalankan pada era Menristek BJ Habibie.
Agar cepat dengan mendatangkan para ahli untuk bekerja di Indonesia tentu tidak serta merta memberikan kebebasan. Namun yang penting adalah menerapkan regulasi kerangka kualifikasi nasional Indonesia, sebagaimma kita sudah memiliki Indonesia Qualification Framework.
Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah sudah dijalankan untuk semua tenaga ahli bagi warga asing? (*)
Kolom oleh A. Aziz Alimul Hidayat, Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama Universitas Muhammadiyah Surabaya.