PWMU.CO – Berdasarkan UUD 1945 yang sudah diamandemen, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. DPR, MPR, MA, MK dan Presiden, itu setara. Tidak ada yang lebih tinggi. Pertanyaannya, di mana letak kedaulatan rakyat? Di Presiden, DPR, DPD, ataukah MPR?
Kekaburan kaidah kedaulatan rakyat itulah yang disampaikan Anggota Badan Pengjajian MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Prof Dr Zainuddin Maliki MSi di depan pimpinan Daerah dan Cabang Aisiyah se-Kabupaten Gresik, Senin (19/12/19).
Dalam forum Penyerapan Aspirasi Masyarakat tentang Penataan Sistem Presidensial yang diselenggarakan di Gedung Dakwah Muhammadiyah (GDM) Kabupaten Gresik, itu Zainuddin menyoal kekaburan letak kedaulatan rakyat.
Di satu sisi kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui pemilu legislatif untuk menjadi anggota DPR di parlemen sehingga dengan begitu DPR adalah representasi dari kedaulatan rakyat. Di sisi lain, Presiden juga demikian. Jadi, siapa yang akan mengawasi Presiden? Bisakah DPR menjalankan tugas dan fungsi pengawasannya dengan baik?
Menurut Zainuddin, Presiden dan DPR adalah dua lembaga yang setara. Sama-sama representasi dari kedaulatan rakyat. Sehingga faktanya, yang terjadi di negara kita ini adalah sistem presidensial tidak penuh.
Kalau presidensial penuh, lanjutnya, mestinya presiden tidak perlu terlalu takut dengan DPR. Tetapi faktanya Presiden cukup kelihatan sibuk membangun koalisi.
“Seperti halnya ketika menyusun kabinet, Presiden sudah diberi hak prerogratif tetapi masih tak bisa mengabaikan desakan partai, terutama partai pendukungnya,” ungkapnya.
Namun di lain pihak DPR yang diberi tugas menjalankan fungsi pengawasan juga tak sepenuhnya jalan. Dalam pengalaman menjalankan pemerintahan, ketika Menteri Kesehatan menyatakan ingin menaikan iuran BPJS untuk golongan 1-3, DPR pun angkat bicara. DPR menolak keras kenaikan BPJS, khusus golongan 3.
“Usulan ini tidak direken, karena merasa dia tidak bertanggung jawab pada DPR tetapi langsung ke presiden,” paparnya. “Fakta-fakta di atas jelas menggambarkan sistem yang ambigu.”
Sebenarnya tidak masalah Indonesia membangun sistem pemerintahan sendiri, sehingga muncul sistem presidensial rasa parlementer.
“Namun harus kita pastikan perkawinan presidensial dengan parlementer itu harus dijamin tidak menimbulkan kekaburan, sebaliknya justru harus semakin mendekatkan bangsa ini kepada cita-cita nasional,” tandasnya. (*)
Kontributor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.