PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2015 Prof Dr M Din Syamsuddin MA menegaskan masalah kerusakan lingkungan hidup telah sampai pada tahap krisis yang serius.
Hal ini ditandai dengan terjadi perubahan iklim dan pemanasan global yang melanda dunia terakhir ini, serta berbagai bencana alam yang terjadi beruntun di berbagai belahan dunia.
Din mengatakan hal itu dalam pengantar konferensi Multi-Religious Partnership for Peace and Development, yang diselenggarakan oleh Religions for Peace (RfP) di New York.
Seperti keterangan tertulis yang disampaikan pada PWMU.CO, Kamis (12/12/19) malam, Din Syamsuddin tampil pada hari pertama sebagai moderator sesi tentang kerusakan lingkungan hidup dan solusi perubahan iklim.
Dalam pertemuan yang dihadiri 250 tokoh berbagai agama dan pegiat perdamaian dunia dari berbagai negara itu, Din hadir sebagai Anggota International Council RfP dan President-Moderator Asian Conference on Religions for Peace (ACRP).
Pertemuan yang digelar dua hari Rabu-Kamis (11-12/12/19) tersebut merupakan kelanjutan IPn World Assembly dari RfP di Lindau, Jerman, Agustus 2019 lalu. Topiknya membahas isu-isu pencegahan dan transformasi konflik, solusi kerusakan lingkungan hidup, pengembangan kolaborasi lintas agama.
Menurut Ketua Pengarah Siaga Bumi itu, krisis lingkungan hidup tersebut memang berdimensi banyak, namun sejatinya bersifat krisis moral. “Memang banyak faktor picu terhadap terjadinya krisis lingkungan hidup, dari wawasan dan gaya hidup manusia modern hingga kebijakan negara dan kekerasan pemodal (capital violence), namun yang tidak bisa diingkari adalah pandangan moral manusia terhadap alam yang keliru,” ujarnya.
Banyak manusia modern, lanjutnya, yang memandang alam lebih sebagai objek dari pada subjek. Akibatnya, terhadap alam manusia lebih tampil sebagai perusak tinimbang pengembang.
Padahal agama, sambung Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini, mengajarkan bahwa alam, yang disebut Alquran sebagai thabi’ah, mengandung arti subjek, bukan objek (mathbu).
Maka, menurutnya, Islam mengajarkan agar manusia memuliakan alam sebagai ciptaan Tuhan yang juga memiliki jiwa. Sebagian dari alam dapat dijadikan sebagai bahan pendukung kehidupan, namun secara keseluruhan alam ada ranah padanya umat manusia membangun peradaban. “Inilah yang disebut sebagai ‘Khilafah Peradaban’ yang merupakan misi penciptaan manusia,” jelas Guru Besar Politik Islam Global UIN Jakarta ini.
Pada konferensi di New York ini Din Syamsuddin juga berbagi pengalaman dari Indonesia tentang kolaborasi lintas agama untuk pemuliaan lingkungan hidup, dan pemeliharaan hutan.
Pada 2014 Din Syamsuddin bersama para tokoh lintas agama yang bergabung dalam Inter Religious Council (IRC) Indonesia mengambil prakarsa pembentukan Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi (Siaga Bumi), yang merupakan kolaborasi umat berbagai agama untuk pemuliaan lingkungan hidup.
Siaga Bumi sejak tiga tahun terakhir mengupayakan adanya eco-rumah ibadat—baik eco masjid, eco gereja, eco pura, eco vihara, dan eco klenteng.
Begitu pula, pada Oktober 2018 Siaga Bumi bersama para LSM LH lainnya memelopori suatu kolaborasi baru yaitu Kolaborasi Agama-Agama untuk Pelestarian Hutan Tropis (Multi-Faith Collaboration for Rainforest Protection).
Menurut Din kegiatan ini menarik perhatian dunia untuk mendukungnya, seperti dari Lembaga Lingkungan Hidup PBB (UNEP), Green Faiths, Religions for Peace, dan Noewegian Environmental Foundation.
“Mereka memiliki keprihatinan yang sama akan pentingnya penyelamatan paru-paru dunia yakni Indonesia, Brasil, Peru, dan Kongo. Gerakan yang dipimpin Siaga Bumi dan AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara) ini diharapkan segera menjadi kenyataan,” ungkapnya.
Pengalaman dari Indonesia itu mendapat sambutan dan penghargaan positif dari para peserta, dan diharapkan dapat menjadi model dari kolaborasi agama-agama dalam penanggulangan masalah-masalah kemanusiaan. (*)
Discussion about this post