PWMU.CO – Prof Dr Bahtiar Effendy—atau biasa saya memanggilnya Mas BE—telah wafat Rabu, 21 November 2019 pukul 23.50 yang lalu. Menulis tentang Mas BE secara singkat tentu terlalu sulit. Mas BE sangat produktif menulis buku. Pertemanan saya dengan beliau pada awal reformasi.
Kami sering diundang berdiskusi dan kebetulan berada dalam satu panel. Dalam setiap diskusi, saya selalu memperhatikan dengan baik bangunan kalimat-kalimatnya, pilihan diksi, dan intonasinya, serta analisisnya yang tajam. Tulisan ini hanya sedikit dari banyak pilihan cerita untuk persahabatan saya dengan Mas BE.
Saya terakhir bertemu Mas BE saat bersama-sama merumuskan konsep pendirian Program Magister Ilmu Politik FISIP UMJ di bawah pimpinan Dekan FISIP saudara Ma’mun Murod Al-Barbasy. Pekerjaan itu belum selesai. Semua anggota tim pendirian Magister Ilmu Politik harus melanjutkan apa yang menjadi arahan dari Mas BE dalam rapat Oktober 2019 yang lalu.
Ada beberapa fase persahabatan saya dengan Mas BE. Menariknya, kami seringkali dimasukkan ke dalam kategori yang sama sebagai “radikal”. Pertama, fase di mana saya hanya mendapatkan cerita tentang beliau saat masih kuliah di Amerika Serikat. Kedua, fase saat reformasi yang diikuti oleh rangkaian diskusi dan ceramah. Saya sering bertemu beliau sebagai teman panelis di banyak kegiatan diskusi.
Pada saat saya menjadi Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik dan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, saya bersama beliau mengajar mata kuliah Teori Ilmu Politik.
Ketiga, fase saat bersama-sama aktif di Pimpian Pusat (PP) Muhammadiyah, yaitu sejak tahun 2010. Saat itu Mas Din (Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah) mengajak saya untuk aktif di PP Muhammadiyah terutama di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP).
Pertama, saya mengenal namanya jauh sebelum bertemu dengan beliau. Pada pertengahan tahun 1980-an, saat saya berteman dengan seorang aktivis mahasiswa dari HMI dari IAIN Ciputat dan juga seorang wartawan dari Majalah Panji Masyarakat bernama saudara alm. Iqbal Abdurauf Saimima (Uf).
Saat menghadiri Kongres HMI di Padang, Rauf banyak bercerita tentang kawan-kawannya di IAIN yang sedang belajar di luar negeri. Setiap kali bercerita, selalu menyebut nama-nama seperti Mas BE dan Azumardi Azra yang di Amerika Serikat, Komaruddin Hidayat di Turki, dan tentu juga Fachri Ali. Kemudian buku fenomenalnya yang ditulis Fachry Ali bersama Mas BE, Merambah Jalan Baru Islam, menjadi pegangan banyak mahasiswa, termasuk saya.
Pada akhir 1980-an, sebagai seorang aktivis LSM yang bergerak di bidang issue perempuan, saya berkenalan dengan istri beliau Fardiah sesama aktivis perempuan. Fardiah banyak bercerita tentang suaminya yang sedang belajar di Amerika Serikat. Setiap kali bertemu Fardiah selalu saya sampaikan, “Kenapa belum menyusul suaminya ke Amerika Serikat? Segera susullah!”
Sejak saya mengurus belajar dan akhirnya berangkat ke Australia tahun 1990-an, saya relatif kehilangan jejak dengan teman-teman tersebut.
Pada fase kedua, saat saya kembali dari Australia pada 13 Maret 1998, era Reformasi, diikuti oleh serangkaian gerakan mahasiswa dan diskusi-diskusi yang tidak pernah berhenti. Pada saat itulah kami seringkali ditempatkan satu panel.
Saya menyadari, berasal dari school of thought yang sama, mempelajari pemikiran politik Barat, pada saat yang sama mempertemukan pemikiran politik Islam. Ada dalam ingatan, ketika saya berdebat keras dengan beliau dalam forum-forum publik, seperti biasa saya lakukan dengan scholars lain.
Saya banyak belajar dari pemikiran-pemikiran beliau yang mengkombinasikan antara the established theory dari Barat dengan the established theory dari Timur. Seperti saya membaca pikiran-pikiran Edward Said yang mempertemukan referensi tentang power dari Faucault yang dikombinasikan dengan referensi Ibn Khaldun.
Analisis political Islam di Indonesia menjadi bagian penting dari diskusi-diskusi yang tidak secara sengaja berada di satu panel itu.
Di samping itu, di ranah schooling dalam pengajaran ilmu politik, Mas BE sangat disiplin dalam mengajar. Bahkan dalam tim pengajarnya sebagian besar kelas lebih banyak beliau yang masuk. Maka pada saat yang sama Mas BE menjadi pembimbing, penguji luar untuk tesis S2 dengan tema-tema yang berhubungan dengan Islam dan politik.
Sampai beliau disibukkan dengan pendirian FISIP UIN yang kemudian mengurangi aktivitas beliau di UI. Mas BE sangat bangga dengan berdirinya FISIP UIN tersebut. Tidak hanya perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat produktif, tapi bangunan fisik FISIP UIN juga hasil karya Mas BE.
Di bangunan baru ini, setiap dosen yang diberi ruang sendiri yang sangat nyaman untuk dapat memproduksi ilmu pengetahuan. Masuk ke ruang-ruang dosen di FISIP UIN Ciputat tersebut, sama seperti masuk kampus-kamus di Amerika Serikat atau juga di Australia.
Fase ketiga, rumah Muhammadiyah menjadi tempat diskusi, sumber pertemuan pemikiran-pemikiran di antara para kader, para schoolars, dan para tokoh Muhammadiyah. Walau masih sangat maletream, di rumah Muhammadiyah inilah saya melihat, mencermati dan menikmati bagaimana tiga tokoh Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Hajriyanto Y. Thohari berdebat dan berdiskusi. Mereka saling “bebas tidak bersepakat” satu sama lain, dengan pilihan-pilihan diksi yang menarik. Biasanya perdebatan itu diakhiri dengan makan bersama. Pilihan makanannya juga cukup sederhana, mie kuah dengan cabe rawit.
Perdebatan mereka menunjukkan persabatan seperti three musketeers dalam mengawal Muhammadiyah, political Islam, keumatan dan kebangsaan. Bahtiar Effendi sebagai penasehat LHKP sangat mendukung kegiatan “kongres politik” yang diganti dengan “Seminar Politik”.
Tema yang beliau sampaikan adalah bagaimana kondisi political Islam di Indonesia. Pikiran dan keprihatinan Mas BE disampaikan saat diskusi-diskusi Pilkada DKI Jakarta 2012, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019 yang baru lalu. Bahkan dengan keras keprihatinan tersebut disampaikan bahwa kondisi partai politik dan kekuatan politik sepertinya tidak ada tempat bagi kekuatan politik Islam di Indonesia di masa-masa mendatang. Saat saya bertanya: “Terus bagaimana?” Jawab Mas BE pendek: “Terus berjuang!”
Salah satu dari rangkaian diskusi adalah saat Mas Din mempersiapkan Visi Kebangsaan Muhammadiyah menuju Tanwir Muhammadiyah di Samarinda. Proses diskusi yang berpindah-pindah di banyak tempat kampus Muhammadiyah tersebut berakhir di Jakarta. Mas BE bertugas menyelesaikan editing, bukan saja editing bahasa tapi juga editing substansi. Mas BE seringkali menjadi mengambil kata akhir.
Dalam dua tahun terakhir ini kami bersama-sama menjadi tim seleksi Anugrah Kebudayaan dari Mendikbud (di bawah koordinasi Najamuddin Ramly, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud RI) untuk kategori orang asing.
Tim ini terdiri dati Mas BE, Prof Makarim Wibisono (keduanya mahasiswa William Liddle), saya sendiri, dan Duta Besar Arthalia yang selalu hadir bersama-sama). Pada rapat pleno terakhir ada kritik terhadap pilihan kami dari kelompok lain.
Beliau bilang: saya juga bisa mengkritik pilihan-pilihan kelompok itu, tapi saya menghargai proses yang sudah mereka lakukan dalam menentukan siapa yang pantas mendapat penghargaan.
Argumen kami adalah tokoh-tokoh asing yang dapat diberi penghargaan kebudayaan tidak hanya yang kebudayaan kesenian, tapi kebudayaan dalam perspektif yang lebih luas membangun peradaban. Oleh karena itu dalam pilihan kami selalu ada para tokoh pendidikan yang kami pilih untuk mendapatkan penghargaan kebudayaan yang membangun peradaban.
Fase terakhir, mempersiapkan berdirinya Program Magister Ilmu Politik FISIP UMJ. Beliau sangat mendukung untuk didirikannya program tersebut terutama untuk bidang Ilmu Politik dan Disaster Governance. Bahkan harusnya membuat fakultas tersendiri.
Antusiasme Mas BE di setiap rapat untuk pengembangan ilmu pengetahuan memberikan semangat bagi dosen-dosen FISIP UMJ untuk mewujudkannya. Kita harus segera mewujudkannya agar UMJ segera memiliki Program Magister Ilmu Politik yang mengambil kekhususan Demokrasi dan HAM di Dunia Muslim dan ilmu yang sangat dibutuhkan dalam bidang kebencanaan.
Sebagai sahabat, guru, pemikir, dan aktivis dalam memperjuangkan political Islam, keumatan, dan kebangsaan, Mas BE telah meninggalkan kita di dunia fana ini. Namun legacy Mas BE tidak pernah meninggalkan kita dengan karya-karyanya dan para muridnya yang akan terus melanjutkan perjuangannya.
Dalam perjuangan “sang pencerah keumatan” dewasa ini, Prof Dr Bahtiar Effendy, his inttelegent, his provocative, his Istiqamah, his commitment was the highest accolades. Lahu al-fâtihah, âmîn. (*)
Kolom oleh Chusnul Mar’iyah, Pengamat Politik UI.