Meskipun KH Ahmad Dahlan menolak Muhammadiyah menjadi partai politik, tetapi beliau tidak menjauhi politik. Bahkan beliau menjadi penasihat Seraikat Islam.
PWMU.CO – Pada awal abad ke-20 gerakan politik mulai tumbuh di tanah air. Kesadaran berjuang untuk Indonesia merdeka makin berkembang. Muhammadiyah adalah bagian dari gerakan yang membangkitkan kesadaran masyarakat untuk hidup merdeka.
KH Ahmad Dahlan menghimpun masyarakat melaui pengajian. Diadakan pengajian rutin per kelompok. Untuk kelompok laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan para remaja. Karena itu ketika Muhammadiyah berdiri sudah mempunyai massa riil yang menjadi anggotanya. Juga ketika dibentuk Aisyiyah, sudah ada masa riilnya.
“Pada kira-kira tahun 1918 ketika saya baru berumur 23 tahun ada rapat tahunan Muhammadiyah yaitu rapat anggota yang diadakan di muka madrasah Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Dalam rapat itu dibicarakan tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah,” ungkap KH Hadjid, murid KH Ahmad Dahlan yang paling muda dan rajin mencatat pemikiran pendiri Muhammadiyah itu.
Menurut catatan Hadjid, dalam rapat itu terdapat dua pendapat yaitu pendapat H Agus Salim dan pendapat KH Ahmad Dahlan. Agus Salim mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik. Argumentasinya sangat menarik. “Saya sendiri sangat setuju dengan usulan Agus Salim itu,” kata Hadjid.
Panggung politik memang sering tampil gegap gempita. Karena itu punya daya tarik kuat kepada banyak orang. Daya pesonanya luar biasa. Apalagi jika usulan itu dikemukakan orang sekelas Agus Salim yang punya kemampuan diplomasi. Maka tak heran jika banyak yang tertarik pada usulan Agus Salim
Dua Pertanyaan KH Ahmad
Dahlan
Sampai akhirnya pembicaraan itu dihentikan oleh KH Ahmad Dahlan. Beliau mengetuk palu pimpinan sambil berdiri sehingga sidang tenang kembali. Setelah tenang dia menanyakan dua persoalan kepada peserta sidang.
Pertama, “Apakah Saudara-Saudara mengerti benar tentang arti Islam? Apakah arti Islam yang sebenar-benarnya itu?”
Kedua, “Apakah Saudara-Saudara senang dan berani menjalankan Islam dengan sungguh-sungguh?”
Dua pertanyaan itu membuat yang hadir terdiam. KH Ahmad Dahlan lalu menjelaskan dua pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab itu. “Kami semua tercengang dan kagum atas dua pesoalan yang dikemukakan KH Ahmad Dahlan itu,” catat Hadjid.
Penjelasan panjang itu kemudian ditulis Hadjid dalam Pelajaran KHA Dahlan tentang 17 Klompok Ayat Alquran. Penjelasan itu dimasukkan pada kelompok ke 12 dengan judul: Wa Ana Minal Muslimin.
Inti dari penjelasan yang panjang lebar itu bahwa arti Islam ialah menyerahkan lahir batin kepada Allah sendiri. Penyerahan diri itu bisa mencontoh penyerahan yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan pertanyaan kedua tentang ‘senang’ dan ‘berani; menjalankan Islam dengan sungguh-sungguh artinya besedia dengan senang hati menyerahkan harta benda dan jiwa untuk Islam.
Dalam pengajian Surat “Wal Ashri”, KH Ahmad Dahlan menyatakan, “Yen durung wani beset kulite durung Islam sejati”. Hadjid mengaku pernah beberapa waktu malu bertemu KH Ahmad Dahlan karena merasa pengorbanannya untuk Islam belum ada apa-apanya “Durung wani mbeset kulite”.
Meskipun KH Ahmad Dahlan menolak Muhammadiyah menjadi partai politik, tetapi beliau tidak menjauhi politik. Bahkan beliau menjadi penasihat Seraikat Islam. Sedangkan KH Fakhruddin, Sekertaris PP saat itu menjadi pengurus harian Sarikat Islam sebagai bendahara.
Jadi KH Ahmad Dahlan mengakui perjuangan lewat gerakan politik tetap penting. Hanya beliau keberatan kalau Muhammadiyah yang didirikannya itu berubah menjadi organisasi politik. Agaknya beliau punya tujuan jauh ke depan yang mungkin tidak dipikirkan para tokoh pergerakan saat itu.
Sikapnya pada Kristen
Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif menyatakan bahwa KH Ahmad Dahlan merasakan adanya kegentingan atas pengaruh Kristen yang terus merembes pada masa penjajahan Belanda. Namun Dahlan minta agar umat Islam tetap berpikir positip. Beliau berinisiatip bersaing dengan Kristen dengan cara melakukan aktivitas yang mirip.
Kalau Kristen punya sekolah, maka Muhamadiyah mendirikan sekolah, kalau Kristen punya rumah sakit dan klinik maka Muhammadiyah mendirikan rumah sakit dan klinik juga. Demikian panti asuhan dan lembaga sosial lainnya. Kata Alwi Shihab, peran KH Ahmad Dahlan menghadapi Kristen ini sangat besar.
Kalau saja dahulu KH Ahmad Dahlan bersedia mengubah Muhammadiyah menjadi organisasi politik maka ceritanya akan sangat berbeda. Tidak ada amal usaha Muhammadiyah berupa pendidikan 30.115 anak usia dini, 2766 SD/MI; 1.826 SMP/MTs; 1.407 SLTA; 341 pondok pesantren, 50 SLB; atau 165 perguruan tinggi. Belum lagi rumah sakit, panti asuhan, masjid dan lain-lain. Jumlah ini sekarang jauh melampaui yang dimiliki Kristen.
Ada lagi catatan penting. KH Ahmad Dahlan adalah orang yang ramah dan bersahabat dengan siapa saja termasuk dengan orang Kristen. “Bahkan dengan rekan Kristen, Dahlan mampu menjadi sumber ilham rasa hormat dan kekaguman,” tulis Alwi.
KH Ahmad Dahlan sering berdebat dengan misionaris. Tetapi perdebatan itu tidak membawa perpecahan melainkan justru mempererat persahabatan. Dari pengakuan misionaris sendiri mereka merasakan ketulusan yang besar dari KH Ahmad Dahlan. (*)
Kolom oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.