PWMU.CO – Selama lima tahun terakhir saya bergaul secara intens dengan Bahtiar Effendy (Pak BE) dalam posisinya sebagai Wakil Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), bersama Din Syamsuddin dan Hajriyanto Y. Thohari.
Dalam berbagai kesempatan, selain membincang tugas-tugas yang berkenaan dengan BPH, juga mengulas isu-isu yang ringan hingga berat secara menarik, baik terkait persoalan Muhammadiyah maupun politik nasional.
Menguraikan peta atau kekuatan politik secara gerr-gerran dan kritis. Namun lebih menarik lagi, ketiga orang yang saya kagumi ini dalam setiap pertemuan selalu saling ingin bicara, membantah, dan bertanya.
Dalam diskusi-diskusi ringan terkait persoalan politik, Pak BE termasuk yang mempunyai pandangan yang pesimistis dalam menggambarkan Indonesia ke depan. Saya hanya mencoba memahami cara pandang atau perspektif Pak BE tentang Indonesia. Apalagi sebagai doktor ilmu politik tentu beliau mempunyai cara pandang yang berbeda dengan saya yang notabene orang hukum.
Saya membaca pada diri Pak BE juga ada keinginan kuat dalam memajukan ilmu, kebenaran, dan juga keadilan politik Indonesia yang mengalami kejutan-kejutan ketidakadilan.
Karya desertasi beliau berjudul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia telah dirujuk oleh berbagai kalangan. Karya ini semakin mengokohkan posisi beliau sebagai “guru politik”.
Bagi para pembacanya, kekuatan analisis dan metodologi sosial keagamaan telah menjadikan disertasi yang ditulisnya sangat berbeda dengan disertasi-disertasi sejenis dan telah membantu setiap orang —(yang berminat mengkaji hubungan Islam dan negara—untuk menerawang hingga memotret perpolitikan dan peran partai-partai Islam di Indonesia dengan baik.
Saya banyak belajar dari Pak BE dalam berbicara. Dengan gaya bicaranya yang khas, suara yang ringan, perlahan, tapi seringkali dalam memilih diksi-diksi cukup mengagetkan siapapun yang mendengarkannya dengan baik.
Dalam mengulas isu-isu politik terkini, sering dan bahkan selalu mendengar hal yang benar-benar baru saya dengar dan mudah dipahami yang keluar dari mulut Pak BE.
Sesekali sambil makan bersama dan dalam banyak kesempatan, dengan suaranya yang juga pelan (karena kondisi sakitnya), sebagai orang Jawa, Pak BE sangat jarang berbahasa Jawa. Sorot pandangnya tajam,sangat mengesankan dengan gagasan keilmuan serta kaya ide ide internasionalisasi
Dalam kapasitas sebagai anggota BPH UMJ, Pak BE banyak memberikan pandangan yang kuat terhadap keinginan dan kehendak untuk membawa UMJ terbang melampaui sejarah dan zamannya.
Sebagai perguruan tinggi Islam, Pak BE berharap UMJ harus mampu membangun tradisi keilmuan secara mendalam dan dengan dasar-dasar argumentasi dalam Islam secara detail dan terperinci, sebagaimana Pak BE juga merencanakan dan membangun secara sungguh hingga berhasil mendirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan akriditasi Unggul.
Dalam rapat-rapat pimpinan fakultas maupun universitas di lingkungan UMJ dengan Pak BE dengan jajaran BPH lainnya, selalu saja dirasakan adanya nilai tambah, begitu kuat, otentik gagasan memajukan ilmu dan UMJ yang keluar dari pikiran cerdas Pak BE.
Pak BE juga selalu mengingatkan tentang mendesaknya UMJ untuk memperjuangan sumber daya dosen dengan kualifikasi pendidikan doktor.
Menyikapi usulan Pak BE, saya sangat mengapresiasi dan menindaklanjutinya dengan membuat kebijakan yang mendorong secara serius agar dosen-dosen UMJ secepatnya mengambil S3 dan segera menyelesaikan. UMJ memberikan bantuan pendanaan bagi dosen yang hendak melanjutkan studi program doktoral.
Dalam keseharian dan dengan merasakan kesakitan yang telah lama dideritanya, namun pikiran-pikirannya yang otentik masih mampu merekam secara kritis, tajam, dan detail keadaan politik Indonesia terkini.
Karakter sebagai guru yang selalu ingin berbuat yang terbaik untuk bangsanya, mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa tak pernah surut.
Di tengah kondisi fisiknya yang semakin hari semakin menurut, Pak BE masih terus membangun mimpi dengan menggagas pemikiran bersama-sama dengan intelektual Muslim lainnya membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Diyakini dengan berdirinya UIII dapat mengubah wajah pendidikan tinggi Islam di Indonesia di mata dunia.
Selamat jalan Prof BE! (*)
Kolom oleh Syaiful Bakhri, Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta.