PWMU.CO-Makna toleransi dalam Islam itu sudah sangat gamblang tertulis dalam surat Al Kafirun. Umat Islam diminta tidak larut dalam salah kaprah mengikuti orang yang punya kepentingan.
Hal itu disampaikan penceramah yang mantan misionaris Ustadz Mowo Purwito Raharjo dalam Kajian Ahad Pagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pare, Ahad (22/ 12 /2019).
Acara yang dilaksanakan di halaman Klinik Siti Fatimah Pare itu dihadiri jamaah Muhammadiyah dari seluruh ranting di kota ini.
Mowo Purwito Rahardjo berasal dari Probolinggo. Dia bersyahadat tahun 2006 di Kota Malang. Doktor lulusan Universitas California di Sacramento ini mempelajari Islamologi saat kuliah hingga Allah memberi hidayah.
Menurut dia, masyarakat Indonesia mengartikan toleransi itu sudah salah kaprah. Misalnya, tidak mengucapkan selamat Natal dikatakan intoleran. Tidak memakai baju Sinterklas dicap intoleran, tidak mau meniup terompet malam Tahun Baru dituduh intoleran radikal. Padahal sesungguhnya makna toleransi seperti itu sudah berubah dari aslinya.
”Toleransi dalam Alquran surat Al Kafirun ayat 1-6 sudah sangat gamblang menerangkan. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmu agamamu dan untukku agamaku,” tandasnya.
Sebagai bagian dari umat Islam, dia berharap agar tidak larut dan gagal paham di wilayah akidah. Kita tahun baru jangan ikut-ikutan tanpa ilmu karena makna toleransi dalam kehidupan, tidaklah harus larut di dalam budaya yang tidak ada.
”Ajaran dalam agama Islam itu sudah jelas tentang toleransi. Di dalam Kristen ada ajaran, hendaklah orang Kristen itu ibarat garam yang larut dalam kuali. Jadi tidak heran bila umat Islam yang mayoritas ini akidahnya dangkal akibat ketidaktahuan mereka terhadap ajaran yang haq,” tuturnya.
Dia bercerita, pernah merasa bangga ketika mendirikan sejumlah gereja di kota Pare, di Kecamatan Kepung dan Kecamatan Wates Kabupaten Kediri dan Kecamatan Ngunut Tulungagung .
”Namun hari ini saya merasa menyesal dan bertobat kepada Allah setelah menjadi mualaf,” tandasnya. (*)
Penulis Suparlan Editor Sugeng Purwanto