PWMU.CO–Lintasan sejarah masa lalu Kota Pare diungkap oleh Direktur Statistika Indonesia Nukman Iskandar dalam acara masa reses penyerapan aspirasi anggota DPRD Kabupaten Kediri Muhammad Yusuf Aziz.
Acara bertempat di halaman rumah Imam Suhudi, Jl. Flamboyan Kampung Inggris Dusun Mulyo Asri Tulungrejo Pare Kediri, Sabtu (21/12/2019).
Nukman yang juga asli Pare menjelaskan, sekitar tahun 1700 ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo terhadap Amangkurat II, memaksa raja Mataram itu mengungsi ke Kediri. ”Tempat tinggal istirahat Amangkurat II berada di Ringin Budho di Kota Pare,” katanya.
Jauh sebelum itu, ada juga kisah ketika pasukan Tartar Cina yang dipimpin Jenderal Meng Chi sekitar tahun 1298. Tujuan menyerang Raja Singasari Kertanegara, tapi Adipati Dhoho Jayakatwang sudah memberontak dan memindahkan kekuasaan ke Kediri.
Pasukan Mongol sebelum menyerang Kediri, menurut dia, diperkirakan beristirahat membuka kemah di kota Pare.
Dia bercerita lagi, pada tahun 1830 selesainya Perang Diponegoro, kekuasaan VOC makin menjadi. Sisa-sisa pasukan Diponegoro masuk ke pedalaman masih melakukan perlawanan.
”Sisa-sisa pasukan Diponegoro sampai juga masuk Pare dan menjadikan daerah ini sebagai benteng pertahanan dari kekuasaan VOC. Mereka memberi tanda pengenal di halaman rumah dan masjid dengan pohon sawo. Jadi tumbuhan sawo di halaman rumah dan masjid orang Pare tanda pendukung setia Pangeran Diponegoro,” tandasnya.
Pasukan Diponegoro ini, sambung dia, menyebar di daerah sekitar untuk melanjutkan perang dengan dakwah Islam. Mengajak orang tetap berpegang kepada ajaran Islam untuk melawan kekuasaan kolonial.
Demikian pula Jenderal Soedirman, kata dia menambahkan, ketika masa revolusi saat gerilya juga singgah di kota Pare. Menemui tokoh-tokoh di sini yang kemudian jadi cikal bakal Muhammadiyah di Pare. Menurut catatan arsip di Museum Nasional, berdirinya Muhammadiyah di Karesidenan Kediri pertama kali berasal dari Pare.
Tahun 1850 Pare juga tercatat sebagai kota perkebunan. Buktinya di sini dibangun Rumah Sakit HVA yang awalnya melayani pengusaha perkebunan zaman kolonial. ”Untuk menunjang kawasan perkebunan, dulu di Pare juga disiapkan jalur kereta api,” katanya.
Di sini juga ada Sekolah Teknik. Awalnya sekolah ini difasilitasi pembangunannya untuk para masinis kereta api.
Lebih populer lagi tahun 1950. Di kota ini kedatangan profesor asal Amerika Serikat yang mengontrak rumah di sebelah utara RS HVA. Saat ini rumah itu dimiliki Haji Mukhlis. Profesor ini melakukan penelitian sosiologi. Dialah Clifford Geertz bersama istrinya.
Keduanya meneliti semua kehidupan orang Pare. Agama dan kepercayaan diteliti, budaya politik masyarakat diteliti, desa, pasar, silsilah keluarga diteliti, warga Cina di sini juga diteliti.
Semuanya diteliti. Hasilnya ada 5 buku terkenal berasal dari penelitian di Pare ini. Istilah santri, priyayi, dan abangan yang populer itu berasal dari buku Clifford Geertz di sini. Dia menyamarkan Pare dengan nama Mojokuto. ”Hasil penelitian itu dijadikan kebijakan pemerintah Amerika Serikat terhadap Indonesia,” tandasnya.
Ada lagi tokoh besar dari Pare misalnya Sudibyo Markus. Bapaknya adalah pendiri Gereja Katolik Jl Kandangan. Sudibyo Markus ini dokter yang kemudian mualaf. Saat ini menjadi salah satu ketua di Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Nama lainnya Mr Sarjan. Menteri Pertanian Kabinet Wilopo zaman Masyumi. Dia orang Pare.
Melihat Pare yang penuh sejarah besar ini, dia berharap kota ini tumbuh menjadi kota penting dan melahirkan tokoh-tokoh besar yang mampu mewarnai Indonesia.
”Kota ini memiliki potensi yang luar biasa. Pasar Induk Pare termasuk 8 besar secara nasional. Ada Kampung Inggris yang mendunia. Ini aset yang perlu dijaga eksistensinya,” paparnya. (*)
Penulis Suparlan Editor Sugeng Purwanto