PWMU.CO – Jangan jadi kader persyarikatan bermental nasi bungkus, yang menggadaikan Muhammadiyah untuk kepentingan uang dan perut.
Demikian pesan Wakil Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo Imam Mahfudzi MFill dalam pembukaan Diklatsar Kokam Sidoarjo, Jumat (27/12/19).
Imam, panggilannya, mengatakan, menjadi kader persyarikatan dalam level apapun harus menata niat. Jika tidak, maka akan sangat berbahaya. “Jangan sampai ranah dakwah yang kita masuki, ternyata hanya uang yang kita cari,” kata dia.
Imam lalu bertanya pada para peserta tentang tujuan mengikuti Diklatsar Kokam ini. “Apa yang kita cari saat ikut Diklatsar Kokam ini? Kalau hanya ingin dapat makanan, itu berbahaya, karena nanti kita akan menjadi pasukan nasi bungkus,” ujarnya.
Kokam Bukan Pasukan Nasi Bungkus
Pasukan nasi bungkus atau pasukan uang receh, lanjut dia, adalah mereka yang berangkat saat ada makanan atau uang. “Berarti ketahanan pangannya belum tuntas,” tukasnya.
Mentalitas nasi bungkus atau uang receh itu, menurut Imam, sangat merugikan persyarikatan. “Jangan sampai hanya gara-gara nasi bungkus dan uang receh lalu menggadaikan persyarikatan. Menggonggong keras, tapi ketika diberi tulang lantas terdiam,” tutur Imam.
Dosen Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya itu memaklumi jika tidak semua peserta Diklatsar Kokam merdeka secara ekonomi. Maka, lanjut dia, salah satu penguatannya tidak hanya fisik tapi juga hati.
“Kekuatan sejati itu ada di hati. Maka kuatkan hati kita. Sebab orang mukmin itu menunjukkan harga diri dan harkatnya. Meskipun dia kekurangan, dia tidak meminta-minta,” ungkapnya sembari mengigatkan peserta pada penggalan Mars Kokam.
Dalam kegiatan di Perguruan Muhammadiyah Lajuk, Porong Sidoarjo yang berlangsung Jumat-Ahad (27-29/12/19) itu, Imam juga berpesan pada para peserta untuk menyiapkan hati dan fisik.
“Kekuatan fisik juga harus dipersiapkan. Meskipun zaman semakin maju dan canggih. Materi fisik melatih kekuatan jasmani, sementara akidah menambah kekuatan hati dan spiritual,” terang Imam. (*)
Kontributor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.