PWMU.CO – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ualama Indonesia (MUI) Prof Dr Din Syamsuddin MA mengatatakan, kepergian Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MA, ke hadirat Allah SWT di RS PKU Muhammadiyah dan RS Sarjito Yogyakarta, Kamis (2/1/20), adalah duka bagi segenap keluarga besar Muhammadiyah dan MUI.
Di Syamsuddin yang menadi menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2010 itu mengatakan, kewafatannya setelah menderita sakit, bukan saja merupakan kehilangan bagi keluarga besar kedua organisasi itu, tapi juga bagi umat Islam Indonesia dan Dunia Islam.
“Almarhum adalah salah seorang ulama Indonesia yang ikut berkiprah di dunia, khususnya di forum Liga Muslim Sedunia (Rabithat al-‘Alam al-Islamy) yang berpusat di Mekah,” ujarnya usai mengikuti shalat jenazah di Masjid Gedhe Kauman, Ygyakarta, umat (4/1/20).
Menurut Din Syamsuddin, di Muhammadiyah almarhum adalah kader sejak aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan kemudian di Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sejak tahun 2000.
Pengetahuan Keislamannya Luas
Din Syamsuddn juga menjelaskan, Yunahar Ilyas merupakan figur ulama yang memiliki wawasan pengetahuan keislaman yang luas. “Kemampuan bahasa Arab yang dimilikinya memungkin almarhum mampu memdalami sumber-sumber Islam, Alquran dan Alhadits, serta literatur-literatur keislaman klasik maupun modern,” terang Din Syamsuddin.
Menurut dia, fokus perhatian Yuanahar Ilyas pada tafsir menjadikannya seorang pakar tafsir yang mumpuni. “Hal ini ikut mewarnai penulisan Tafsir Al-Tanwir yang merupakan salah satu produk monumental Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,” kata Din Syamsuddin.
Selain seorang ulama, sambungnya, almarhum Yunahar Ilyas adalah seorang muballigh handal yang piawai berceramah dalam bahasa sederhana dan mengena. “Tak pelak lagi almarhum Yunahar Ilyas merupakan aset Muhammadiyah yang unik dan langka,” ujarnya.
Din Syamsuddin menjelaskan, Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan menuntut adanya figur ulama-mubaligh sekaligus ulama-intelektual. Keberlangsungan gerakan dakwah Muhammadiyah meniscayakan adanya figur pimpinan yang memiliki wawasan pengetahuan keagamaan yang luas, sehingga mampu mengembangkan pikiran keislaman yang berkemajuan namun tidak tercerabut dari akar dan dasar-dasar ajaran Islam.
Shibghah Islamiyah Muhammadiyah
Menurut Din Syamsuddin, cukup banyak kader ulama di lingkungan Muhammadiyah, baik alumni luar negeri maupun dalam negeri. Tapi mereka memerlukan waktu untuk tampil dan ditampilkan.
Namun, untuk sementara waktu, lanjutnya, agaknya Muhammadiyah terutama untuk tingkat pusat, menghadapi kelowongan figur ulama untuk menggantikan posisi almarhum Yunahar Ilyas. Sebab Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menuntut adanya shibghah Islamiyah. Tanpa shibghah Islamiyah Muhammadiyah akan kehilangan ruh Islami.
“Majelis Ulama Indonesia, di mana almarhum menjabat sebagai salah seorang Ketua kemudian Wakil Ketua Umum hingga akhir hayatnya, juga tak terlepas dari sentuhan pikiran almarhum,” kata Din Syamsuddin.
Memadukan I’tidal dan Tawazun
Dalam pandangannya, Yunahar Ilyas telah ikut mewarnai keputusan-keputusan MUI. “Sebagai seorang ulama, almarhum mampu memposisikan diri pada Wasathiyat Islam sejati, yang tidak sekadar menekankan moderasi dan toleransi, tapi memadukannya dengan watak i’tidal dan tawazun,” papar Din Syamsuddin.
Yang pertama menekankan penegakan keadilan dan adanya keadilan dalam masyarakat. Maka pengamal Wasathiyat Islam sejati akan gusar dan prihatin jika merajalela berbagai bentuk ketidakadilan.
Yang kedua, tawazun, juga mengejawantah dalam sikap kecenderungan menegakkan keseimbangan dan prihatin terhadap berbagai bentuk kesenjangan dan ketimpangan.
“Dua kriteria Wasathiyat Islam ini, i’tidal dan tawazun, sering dilupakan karena hanya terfokus pada moderasi dan toleransi. Akibatnya, kita menjadi lembek (bukan lembut) terhadap kemungkaran-kemungkaran terutama yang bersifat struktural yang melekat dalam sistem kehidupan kolektif atau kebangsaan,” terang dia.
Semoga Lahir Yunaha-Yunahar Baru
Sebagai kolega dekatnya, Din Syamsuddin menilai Yunahar Ilyas adalah ulama sejati yang memiliki kuat komitmen kepada Wasathiyat Islam. “Hanya saja, almarhum banyak memilih diam (tidak berbicara di ruang publik yang luas), dan hanya memilih berbicara pada audiens terbatas, yakni jamaah kajian tafsir yang diasuhnya,” ujarnya.
Sikap demikian, kata Din Syamsuddin, sebenarnya cukup berarti dari pada banyak ulama lain yang bisu karena lidahnya kelu atau cenderung menggebu-gebu membela pihak tertentu.
“Maka kewafatan ulama dari umat ini perlu menjadi peristiwa yang disikapi secara ijabi (responsif untuk mengajukan solusi),” ujarnya.
Adalah manusiawi, tutur Din Syamsuddin, kalau kita bersedih atas kewafatan almarhum. Namun akan lebih baik kalau kita mengambil hikmah dari setiap kehilangan tokoh, yaitu dengan berupaya menghadirkan generasi penerus. Wa kafa bi al-mauti wa’izhan, cukuplah bagi kalian kematian sebagai pelajaran.
“Maka jadikanlah kewafatan almarhum Yunahar Ilyas sebagai pelajaran, yakni dengan menghadirkan Yunahar-Yunahar baru,” tuturnya. (*)
Penulis Nely Izzatul. Editor Mohammad Nurfatoni.