PWMU.CO – Prof Dr Zainuddin Maliki MSi mendukung lahirnya amal usaha Muhammadiyah (AUM) bidang politik. Menurutnya, Muhammadiyah tidak boleh memandang politik kebangsaan terpisah dengan politik kekuasaan.
Hal itu dia sampaikan dalam forum Sekolah Kebangsaan Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Gresik di SD Muhammadiyah GKB 2 Pondok Permata Suci, Ahad (5/1/20).
Keluhan Berbuah Bisnis
Mengawali paparannya, Zainuddin Maliki berkisah tentang Jack Ma. Seorang pengusaha Cina yang berangkat dari nol atau bahkan minus, tapi kemudian menjadi raja bisnis di bidang IT.
Zainuddin Maliki mengatakan, Jack Ma punya kemampuan mengubah tantangan menjadi peluang. Mengubah keluhan menjadi keuntungan. “Jadi kalau ada orang mengeluh, di balik keluhan itu ada peluang bisnis,” ujarnya.
Di Jakarta, kata dia, banyak orang mengeluh jalan padat yang akhirnya melahirkan peluang Go-Jek. “Bahkan kemudian bosnya jadi menteri,” ujar Zainuddin Maliki disambut tepuk tangan peserta.
Contoh peluang lain, lanjutnya, banyak orangtua risau dengan ujian nasional. Kalau tidak lulus, orangtua risau. “Akhirnya muncullah bimbel online. Yang namanya Ruang Guru, penggunanya itu 15 juta lebih, 300 ribu lebih guru, dan founders-nya diangkat menjadi staf khusus presiden,” ungkapnya.
Zainuddin Maliki meyakini kalau banyak pemuda mengeluh, berarti di balik itu ada banyak peluang. Menurutnya, untuk mendapatkan peluang itu dibutuhkan kekayaan imajinasi dan kreativitas.
Pemuda Kaya Imajinasi
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PAN itu menegaskan, generasi muda harus memperkaya imajinasi. “Kita harus berlatih melihat sesuatu itu dari banyak sudut. Jangan kita kemudian berpikir berkacamata kuda, artinya melihat dari satu sisi,” tuturnya.
Zainuddin Maliki berharap generasi muda dapat berpikir kreatif dan kaya imajinasi sehingga dapat melihat segala sesuatu dari banyak kemungkinan. “Nah ini yang jarang dikembangkan di kalangan muda kita, bahkan di sekolah juga tidak dikembangkan upaya membangun kekayaan imajinasi,” ujarnya prihatin.
Ia kemudian bertanya kepada peserta yang merupakan angkatan muda Muhammadiyah (AMM) di Gresik. Kalau diminta menggambar pemandangan, kira-kira akan menggambat apa. “Saya tahu kok, kalau saya suruh gambar pemandangan paling yang Anda gambar itu dua gunung, satu matahari, dua sawah di tengah-tengahnya ada jalan dan tiang listrik,” ujarnya disambut tawa peserta.
Zainuddin Maliki menambahkan, banyak yang mengaku bisa menggambar dua gunung mulai TK. “Sampai jadi pimpinan Pemuda Muhammadiyah gambarnya ya itu. Gitu mau bersaing di tengah persaingan global. Lha wong modal imajinasinya cuma dua gunung mulai dulu sampai sekarang,” paparnya mengkritisi.
Untuk bersaing di dunia yang ketat saingannya, kata dia, membutuhkan imajinasi-imajinasi yang sangat kuat. Demikian halnya untuk bersaing dalam dunia politik, menurutnya dibutuhkan modal kreativitas yang tinggi.
Politik Kebangsaan Versus Politik Kekuasaan
Zainuddin Maliki kemudian menjelaskan dua jenis politik, yaitu politik kebangsaan dengan domain Muhammadiyah dan politik kekuasaan yang berdomain partai politik. “Kalau partai politik itu bagi-bagi, power sharing. Tapi kalau kebangsaan tidak ikut-ikut power sharing,” ujarnya.
Politik kebangsaan itu, lanjutnya, ambil bagian dalam proses mengokohkan apa yang disebut dengan nation state, negara bangsa. Menurut Zainudin Maliki, membangun negara itu jauh lebih mudah dibanding membangun sebuah bangsa. “Karena syarat membangun negara itu cuma punya wilayah, punya rakyat, punya pemerintahan, punya pengakuan dari negara lain. Gampang toh punya negara,” paparnya.
Dilihat dari semua persyaratan tersebut, Zainuddin Maliki mengatakan Indonesia telah memenuhi sebagai sebuah negara. Tapi bagaimana dengan bangsa?
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu memaparkan, bangsa atau nation merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup di tengah-tengah komunitas di wilayah tertentu, yang mereka masing-masing rela untuk hidup bersama meskipun berbeda. Ada kerelaan di tengah-tengah perbedaan untuk hidup bersama, menciptakan tujuan bersama. “Tujuan itu apa, general welfare, kesejahteraan umum, kemaslahatan umum, kemajuan bersama,” tegasnya.
Nah pertanyaannya, kata dia, kerelaan itu sudah tumbuh atau belum di negeri ini sampai sekarang. Menurut Zainnudin Maliki, untuk membangun kerelaan bersama itu masih on the becoming process. “Nah sampai kapan pertanyaannya, sehingga kita kemudian menjadi bangsa yang bermartabat, bangsa yang terhormat, disegani oleh bangsa-bangsa lain, itu sampai kapan,” tegasnya.
Beda Partisipasi dengan Mobilisasi Politik
Zainuddin Maliki mengatakan, dalam politik ada istilah mobilisasi dan partisipasi. Partisipasi itu, jelasnya, kesadaran masyarakat untuk ikut bersama-sama atas dasar kerelaan, bukan atas dasar iming-iming atau paksaan. “Ini datang ke sini partisipasi atau paksaan? Hujan lebat datang ke sini apa untuk dapat uang transpor? Kalau begitu ya bukan partisipasi, tapi mobilisasi,” ujarnya disambut tawa peserta.
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim ini, tidak ada anggota DPR atau caleg DPR lain yang bisa menyelenggarakan tatap muka sebanyak yang ia lakukan. “Kenapa, karena caleg lain berhimpun mengumpulkan konstituen berdasarkan mobilisasi, bukan partisipasi,” tegasnya.
Diceritakan, selama tujuh bulan kampanye, Zainuddin Maliki merasakan secara umum melakukan tatap muka dengan konstituen itu berdasar partisipasi, tidak ada mobilisasi. Ia mengaku menghitung jumlah tatap muka yang ada di catatannya, yaitu 97 titik di Gresik dan 176 titik di Lamongan.
Mobilisasi yang dimaksud, kata dia, konstituen diberitahu oleh tim sukses, kalau datang akan dapat ‘toket, sitok seket’. “Di Gresik dan Lamongan ‘toket’ gak laku, yang laku ‘jitus, siji satus’,” ujarnya.
Hasil Mobilisasi Rendah Tanggung Jawab
Meski demikian, Zainuddin Maliki mengatakan ada yang berhasil dan ada yang tidak. Namun yang pasti mereka menghimpun massa berdasarkan mobilisasi. “Itu yang kemudian menguras tenaga, pikiran, bahkan isi dompet,” kata dia.
Ia khawatir, caleg terpilih yang melalui proses mobilisasi akan rendah tanggung jawabnya. “Gak akan ada yang nagih, karena sudah cash di awal,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.
Kalau berdasar partisipasi seperti dirinya, kata dia, tanggung jawab moralnya jauh lebih besar dibanding merekayang pake ‘toket’ atau ‘jitus’. “Loh wong kamu itu loh saya yang milih, kamu gak bayar apa-apa kok. Bondho ceramah thok sampeyan iki. Kok diundang saja gak mau,” ujarnya berbahasa Jawa.
Maka menurutnya, kalau ingin mendapatkan pemimpin yang tanggung jawab, memilihnya jangan pakai mobilisasi. “Kalau saya ini saya harus bekerja keras bagaimana saya bisa bermanfaat bagi warga Muhammadiyah yang tempo hari itu bekerja keras untuk saya. Itu yang saya pikirkan, gimana caranya,” jelasnya.
Muhammadiyah Yatim Politik?
Terkait tulisan Buya Syafii Maarif beberapa waktu lalu di Kompas tentang Muhammadiyah di politik itu anak yatim, Zainuddin Maliki ingin menjawab keluhan itu. “Buya Syafii, setelah saya menjadi anggota DPR, Muhammadiyah tidak yatim lagi,” tegasnya yakin.
Zainuddin Maliki mengibaratkan, meski ia hanya mempunyai satu pentol korek api, dalam ruangan gelap, di luar hujan lebat, gak ada lampu listrik, malam hari, tentu menjadi manfaat. Dengan satu pentol korek api itu ia bisa menyelamatkan diri atau naik genteng.
Diceritakan, Zainuddin Maliki sudah mencoba memperjuangkan bersama orang-orang yang berjiwa Muhammadiyah di DPR untuk meyakinkan bahwa Muhammadiyah di politik tidak yatim piatu.
“Kemarin saya berikan contoh Muhammadiyah Babat Lamongan, Pimpinan Cabangnya sudah mendirikan rumah sakit, luar biasa bagusnya. Gedungnya megah, semua persyaratan sudah dilengkapi. (Tapi) dinas kesehatannya tidak mau mengeluarkan izin, alasannya Menteri Kesehatan minta Permenkes Nomor 30 tahun 2019 ditunda pelaksanaannya,” paparnya kepada peserta.
Maka kemudian, lanjutnya, Dinas Kesehatan tidak berani mengeluarkan izinnya. Karena Zainuddin Maliki berada di Komisi X dan tidak mengurus rumah sakit, maka ia meminta bantuan teman Muhammadiyah di Komisi IX.
“Ini apa-apaan pemerintah ini. Ada masyarakat yang sudah berinisiatif ambil bagian untuk melayani kesehatan malah dipersulit. Ini kebalik ini. Mestinya langsung dipermudah. Lalu besoknya diperintahkan stafnya ke Lamongan,” cerita dia.
Soal Utang BPJS ke Muhammadiyah
Demikian halnya dengan BPJS yang ternyata selama ini Muhammadiyah memberi utang ke pemerintah Rp 1,2 trilyun. Beberapa waktu kemudian, kata dia, menterinya kirim testimoni. Ini Kementerian Kesehatan sudah menyalurkan dana ke Rumah Sakit Muhammadiyah, dihitung Rp 300 milyar. “Nah inilah manfaat Muhammadiyah punya politisi sendiri, sehingga Muhammadiyah tidak merasa yatim,” ujarnya.
Saat menjemput Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir dari Bandar Udara Juanda ke Lamongan untuk acara Milad Muhammadiyah beberapa waktu lalu, Zainuddin Maliki menyampaikan ia dan teman-teman Muhammadiyah di DPR mempunyai tekad tidak lagi menjadikan Muhammadiyah yatim.
“Tapi ya begitu, kita perlu asupan apa sebenarnya yang menjadi konsep Muhammadiyah yang perlu kita perjuangkan. Dan kalau jumlah anggota DPR yang punya semangat Muhammadiyah jumlahnya banyak kan semakin bagus,” ungkapnya.
Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Politik
Oleh karena itu, Zainuddin Maliki mengusulkan perlunya Pimpinan Pusat Muhammadiyah merealisasikan pesan almarhum Prof Bahtiar Efendy, yaitu Muhammadiyah harus punya amal usaha di bidang politik. “Ini yang harus digarap secara serius. Muhammadiyah tidak bisa lagi ngomong kita mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik,” ujarnya.
Menurutnya, Muhammadiyah itu harus ada kebijakan-kebijakan afirmatif dalam ambil bagian dari proses politik. Harus ada perumusan yang cerdas. “Muhammadiyah katanya orang-orang cerdas dan saya yakin bisa,” ucapnya.
Zainuddin Maliki menegaskan, Muhammadiyah tetap menjadi organisasi dakwah amar makruf nahi mungkar. Tetapi tidak boleh memandang politik kebangsaan terpisah dengan politik kekuasaan. “Memang berbeda politik kebangsaan dengan politik kekuasaan. Ini bukan dualisme, tapi dualitas, yaitu dua sisi,” tuturnya.
Strategi Diaspora Politik
Oleh sebab itu, lanjutnya, tidak harus Muhammadiyah mengubah wajah tetapi mempunyai kebijakan-kebijakan afirmatif terhadap politik. “Itu satu. Yang kedua, boleh Muhammadiyah itu berdiaspora. Istilahnya Pak Muhadjir (Effendy, Menko PMK) jangan menaruh telor di satu keranjang. Kalau keranjangnya jatuh, maka pecah semua. Itu juga satu teori,” ujarnya.
Zainuddin Maliki mengatakan, kalau berdiaspora, harus berpikir apakah kita mendapatkan sebuah kekuatan politik yang cukup. Ini yang harus dihitung. Mana yang lebih menguntungkan? “Ini kan berbicara strategi taktik. Nah ini yang kurang di Pemuda Muhammadiyah. Nanti kalau ada Sekolah Kebangsaan lagi, buat satu sesi tentang strategi dan taktik,” pesannya.
Nah di politik, kata Zainuddin Maliki, semangat diasporanya warga persyarikatan itu lebih tinggi daripada berserikat di dalam satu kekuatan politik tertentu. “Semangatnya berdiaspora, menyebar ke mana-mana, sehingga kemudian tidak mudah,” ucapnya.
Namun ia bersyukur apa yang sudah dilakukan di Gresik dan Lamongan berhasil menghimpun, mengarahkan kekuatan pemilih dari Persyarikatan Muhammadiyah untuk memilih satu pilihan yang diinstruksikan. “Tapi masih banyak yang memilih berdiaspora,” ujarnya.
Menurutnya, ke depan kalau ingin keluatan kita lebih di parlemen atau di legislatif daerah tingkat 1 maupun tingkat 2, maka Muhammadiyah tidak bisa menempatkan strategi diaspora sebagai pilihan utama. “Muhamamdiyah harus memilih mengarahkan kepada pilihan partai utama. Itu yang harus dilakukan dengan cerdas,” tuturnya. (*)
Kontributor/Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.