PWMU.CO-Spanyol pernah dikuasai penguasa muslim dari Maroko selama 781 tahun. Negeri yang kemudian disebut Andalusia itu membangun peradaban dengan budaya dan ilmu pengetahuan yang bekasnya bisa disaksikan hingga kini.
Bagaimana cara kaum muslim bisa menyebar ke daratan Eropa di Semenanjung Iberia itu? Beginilah awal mulanya.
Tahun 709, Raja Spanyol, Witiza, curiga dengan Theodofredo Balthes, Duke of Cordova, yang diisukan hendak memberontak. Maka diundangnya penguasa Kordoba itu ke istana di ibukota Toledo. Tapi apa yang terjadi di luar dugaan. Balthes ditangkap. Kedua matanya ditusuk besi panas lantas dia dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah.
Putra penguasa Kordoba, Pangeran Rodrigo, tidak terima tindakan raja terhadap bapaknya. Dia kumpulkan pasukan untuk menyerang ibukota. Serangan balas dendam ini berhasil memorak-porandakan istana, menangkap Raja Witiza dan membunuhnya. Rodrigo lantas mengumumkan dirinya sebagai Raja Spanyol baru.
Sementara keluarga Witiza meloloskan diri hingga ke selatan. Dari sini keluarga raja naik kapal menyeberang ke pesisir Afrika Utara. Mendarat ke kota Ceuta atau Sabtah, menurut lidah Arab.
Ceuta, kota di ujung Afrika Utara itu masih dikuasai bangsa Goth dari Spanyol meskipun daerah sekitarnya sudah ditaklukkan pasukan muslim pimpinan Musa bin Nushair dari Kekalifahan Umayah. Penguasa kota Ceuta adalah Pangeran Julian, kerabat Raja Witiza.
Setahun setelah peristiwa itu yakni tahun 710 M, Pangeran Julian bersama keluarga Witiza mendatangi Istana Gubernur Afrika Utara, Musa bin Nushair, di kota Kairwan. Kedatangan bangsawan Goth ini meminta bantuan penguasa Islam agar menyerang Spanyol untuk menurunkan Rodrigo dan menobatkan kembali keturunan Raja Witiza.
Thariq bin Ziyad
Di ujung tahun, Kalifah Walid I di Damaskus menyetujui permintaan keluarga Witiza dan memerintahkan Musa bin Nushair memimpin pasukan. Maka berangkatlah 12.500 pasukan terdiri dari prajurit Arab dan Barbar menuju Ceuta, kota yang berada di selat sempit berseberangan dengan Spanyol.
Puluhan kapal telah disiapkan untuk menyeberang. Pimpinan pasukan armada laut ini diserahkan kepada prajurit Barbar, Thariq bin Ziyad. Pangeran Julian dan pasukannya turut serta sebagai penunjuk jalan. Awal tahun 711, armada laut ini mendarat di pantai berbukit batu di semenanjung Iberia itu.
Setelah pasukan muslim menguasai pantai maka bukit batu di situ kemudian disebut sebagai Jabal Thariq, Bukit Thariq. Orang Barat melafalkan dengan Gibraltar. Sebutan itu sebagai tanda sejarah. Di tanah itulah titik pertama pasukan muslim mendarat di benua Eropa.
Ketika semua pasukan telah mendarat dan persiapan perang dimulai tanpa diduga Panglima Thariq memerintahkan membakar semua kapal. Saat kapal-kapal hangus terbakar, Thariq berkata lantang kepada pasukannya,”Musuh ada di depanmu, laut di belakangmu. Silakan pilih mana yang kamu suka.”
Khutbah singkat itu menggelorakan semangat jihad pasukan muslim. Mereka pun memilih maju menantang musuh untuk menaklukan tanah dan bangsa asing ini. Rupanya pendaratan pasukan muslim dari Afrika Utara ini sudah tersiar di ibukota Toledo. Raja Rodrigo langsung menggalang pasukan besar sebanyak 100.000 tentara untuk menghadapi perang di wilayah selatan.
Bertemulah dua pasukan ini di Guadalete di dekat sungai Rio Barbete. Pertempuran berkecamuk seru. Bunuh membunuh. Militansi pasukan muslim yang jumlahnya kecil mampu mengatasi prajurit Spanyol hingga kocar-kacir. Sisa prajuritnya lari menyelamatkan diri bersama Rodrigo dengan menyeberangi Rio Barbete. Namun nahas, raja yang baru berkuasa dua tahun itu malah tenggelam dan mati.
Kemenangan ini menjadi titik penentu sejarah. Pasukan muslim terus bergerak ke utara menaklukkan kota-kota lainnya. Tak lama sesudah itu dikuasainya kota Ecija, Kordoba, dan ibukota Toledo. Jatuhnya istana raja Spanyol di ibukota menjadikan pasukan Thariq bin Ziyad sangat gampang menguasai kota-kota berikutnya seperti Alcala de Henares, Guadalajara. Saragosa, hingga wilayah Navarre di kaki pengunungan Pyrene. Setelah itu pasukan menuju barat memasuki daerah Leon merebut kota Astorga, dekat Teluk Biscaye.
Serangan pasukan muslim ini menunjukkan kekuasaan yang dibangun Raja Roderik hasil kudeta itu masih rapuh. Prajurit tidak sepenuh hati mendukungnya sehingga semangat tempurnya kurang. Rakyat juga apatis dengan perang ini karena beban pajak yang dikutip sangat besar untuk mengisi kas negara.
Yahudi dan Unitarian
Pengusaha dan intelektual Yahudi sebagai kelas menengah di Spanyol lebih suka dengan kedatangan pasukan Islam karena ingin bebas dari diskriminasi dan penindasan rezim penguasa yang sejak Konsili Toledo memaksa warganya menganut Kristen.
Di sisi lain, di antara penduduk Spanyol masih ada penganut Kristen Unitarian ajaran Uskup Arius yang mengesakan Allah dan menganggap Yesus adalah manusia biasa yang menjadi nabi. Kelompok ini juga ditindas penguasa yang beraliran Trinitas. Maka mereka pun menyambut pasukan muslim yang agamanya senafas dengan keyakinan mereka.
Berita kemenangan pasukan Thariq ini membuat Gubernur Musa bin Nushair bersemangat. Dia memimpin sendiri pasukan bantuan menyeberang ke tanah Iberia tahun 712 M. Pasukannya menguasai wilayah barat seperti Carmona, Sevila, Merida, Aragon dan merebut kembali kota Guadalajara dan Saragosa.
Anak Gubernur Musa, Abdul Aziz, yang ditempatkan di Sevila, memimpin pasukan menguasai daerah barat seperti Nieblo, Beja, Evora, Lisboa, Santarem, Coimbro. Hingga tahun 714 semua kota besar sudah ditaklukan seperti Malaga, Granada, Murcia, Orihuela, Valencia, kepulauan Balearik, pulau Mayorca, dan Minorca
Inilah era awal Eropa dimuslimkan dengan Abdul Aziz bin Musa dinobatkan sebagai penguasa mewakili Khalifah Walid I. Kawasan muslim ini kelak dikenal dengan sebutan Andalusia, merujuk kepada suku Vandal, penduduk awal tanah itu. Vandaluzia berarti tanah orang Vandal lantas populer dengan sebutan Andalusia. Di tanah inilah sinar Islam pernah menerangi Eropa. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto