PWMU.CO-Dokter Amat Mulia Asnar (69) memang telah meninggal dunia pada Jumat (10/1/2020) pukul 19.15, tapi kenangan bersamanya tetap hidup. Cerita kemuliaan dokter ini sangat sesuai dengan namanya. Menjadi buah bibir dari orang ke orang.
Dilahirkan daerah Kemasan Gresik, 16 November 1951. “Dari semua keluarga Asnar di desa itu hanya bapak dan adik bungsunya yang jadi dokter,” cerita Nadia Amanda, putrinya.
Tahun 1972 dokter Asnar masuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. “Setelah lulus menjadi dokter di Freeport Papua,” lanjut Nadia.
Saat bertugas di Freeport, sambung dia, ada wajib militer sehingga ayahnya masuk Angkatan Udara. Saat wajib militer ditugaskan ke Ambon. Saat menjadi dokter wajib militer ini suatu saat ditugasi menolong wartawan yang tergelincir masuk jurang.
Karena medan sulit tidak bisa dikeluarkan lewat jalur darat. Harus menggunakan helikopter. “Bapak turun dari helikopter dan memasangkan sling untuk mengangkat pasien. Lucunya setelah penyelamatan ini, bapak naik ke atas pilih jalan kaki, tidak mau nak helikopter. Katanya, mumet,” kenang Nadia sambil tertawa.
Penyelamatan heroik itu dokter Asnar mendapat penghargaan Operation Raleigh dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Dia kemudian berhenti dari Angkatan Udara dengan pangkat terakhir kapten.
Spesialis Urologi Juga Ahli Diabetes
Selepas itu, dia melanjutkan kuliah dokter spesialis ke Universitas Airlangga. Ambil spesialisasi bedah urologi. Saat lulus kemudian bekerja di RSUD dr Sutomo di Departemen Urologi.
Lantas mendapat kesempatan belajar kedokteran ke Jerman. Dia memperdalam ilmu urologi di negara itu. Di negara ini dia bekerja di rumah sakit diabetes. Karena itu banyak pengalaman tentang diabet dan penanganannya.
Di Jerman ini pula dia bertemu belahan hatinya. Perempuan Jerman, Silmi Diana. Dari pernikahan ini dokter Asnar dikaruniai dua anak. David Daniel Luthen dan Nadia Amanda.
Pulang ke Indonesia dia kembali ke RSUD dr Sutomo sambil menjadi pembimbing peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) urologi hingga pensiun.
Kehidupan dokter Asnar tidak hanya bersentuhan dengan dunia medis. Dia juga menapaki dunia dakwah. Aktif sebagai anggota Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo tahun 2005-2010.
Kemudian menjabat ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) dua periode. Tahun 2010-2015 dan 2015-2020. Di masa pengabdian ini berdirilah RS Muhammadiyah Siti Aisyah Tarik tahun 2007. Dia menjabat direktur pertamanya tanpa gaji.
Dibayar Pisang Setandan
Banyak orang terkesan dengan pelayanan praktik dokter Asnar ini. Seperti diceritakan Direktur RS Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan dr Tjatur Prijambodo MARS.
Menurut dia, dokter Asnar orang terdepan dalam memberikan perhatian dan pelayanan kesehatan terhadap tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah. Bersama Lazismu membantu layanan kesehatan kaum duafa secara cuma-cuma.
“Beliau sebagai sosok yang mengayomi. Selalu memberi manfaat pada orang lain, terutama yang tidak mampu,” tutur Tjatur.
Di usia yang sudah senior, sambung dia, masih bersemangat mengurus Majelis PKU. Misalnya, mendirikan Klinik An Nur Sidoarjo.
Nadia Amanda berkisah lagi seputar pelayanan kesehatan yang diberikan ayahnya kepada pasien. “Ayah itu kadang dibayar pisang satu tandan, sayur-sayuran, gula satu kilo. Dan semua diterima ayah dengan gembira,” terang.
Pernah juga ada orang yang sakit jantung. Sudah berkali-kali masuk rumah sakit. Setiap ke dokter selalu bayar lebih dari Rp 500 ribu. Tebus obatnya bisa lebih satu juta. Oleh seorang temannya disarankan ke dokter Asnar.
Begitu sampai di tempat praktik dan selesai diperiksa dokter Asnar, ia seakan tak percaya. “Saya sempat gemetar karena bawa uang Rp 600 ribu, ternyata hanya disuruh bayar Rp 60 ribu. Bahkan tebus resepnya hanya Rp 80 ribu. Alhamdulillah sembuh,” kenang Nadia menirukan cerita pasien ayahnya.
Pasien dokter Asnar dari berbagai kalangan, terutama orang tak mampu. Pernah ada tukang becak yang sudah sering masuk rumah sakit dengan gejala batuk. Saat dibawa ke dokter Asnar hanya melihat foto rontgen thorax langsung bergumam, “Ini kok disebut batuk biasa, padahal sudah jadi kanker paru-paru.” Dia bergumam dalam bahasa Inggris kepada asistennya.
Lalu ia meminta asistennya memberi tahu keluarganya untuk ikhlas dan siap menerima kenyataan. Ternyata betul, selang sepekan pasien itu meninggal.
Saat pemeriksaan pasien sangat suka bertanya tentang penyakitnya. Dokter Asnar ternyata menjelaskan semuanya dengan santai dan bercanda. “Ini membuat pasien selalu memiliki pikiran positif dan gembira. Itu kunci kesembuhan yang utama,” tutur Nadia yang alumnus Smamda Sidoarjo ini.
Kini dokter Amat Mulia Asnar ini telah pergi, menjemput kebahagiaan hakiki di sisi Allah swt. Kemuliaannya selalu dikenang orang. Semulia namanya. (*)
Penulis Ernam Editor Sugeng Purwanto