PWMU.CO – Tawakal menurut Ustadz Taufiqullah mengandung tiga hal. Di Smamsatu Gresik, dia mengajak belajar dari kisah sukses Untag Surabaya.
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik Dr Taufiqullah MPd menyampaikan hal itu dalam Kultum Jumat Pagi di SMA Muhamamdiyah 1 (Smamsatu) Jalan KH Kholil 90 Gresik, Jumat (17/1/20).
Materi tawakal dia mulai dengan kisah kesuksesan Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya.
“Ketika mengikuti rapat kerja Badan Pelaksanan Harian Perguruan Tinggi se-Jawa timur mewakili Universitas Muhammadiyah Gresik, saya bertemu para pengurus yayasan Perguruan Tinggi swasta se-Jawa Timur dan mendapat pengarahan bagaimana cara mengembangkan perguruan tinggi—istilahnya good university government,” ungkapnya.
Menurut Ustadz Taufiqullah, cara mengelola perguruan tinggi agar bisa maju maka, pertama, internalnya harus kuat. Kedua, jangan membiarkan ada sumber-sumber konflik dalam kebersamaan, persaudaraan, atau kekeluargaannya.
“Konflik itu sesuatu yang biasa tetapi kalau dibiarkan, itu pasti akan memengaruhi keadaan lembaga itu. Tidak ada lembaga yang bisa maju kalau di dalamnya penuh dengan konflik,” jelasnya.
Belajar dari Untag Surabaya
Ustadz Taufiqullah kemudian menceritakan apa yang disampaikan oleh mantan Rektor Untag Prof Dr drg Ida Ayu Brahmasari Dipl DHE MPA, nara sumber yang bertugas menyampaikan success story perguruan tinggi yang dibinanya.
“Ketika menjabat rektor waktu itu mahasiswanya 20.000 orang tinggal 3.000 orang. Sehingga rumah-rumah kos atau kontrakan di sekitar Untag sepi. Penjual soto, makanan dan sarapan di lingkungan situ banyak yang tutup,” kata Ustadz Taufiqullah menuturkan kisah Ida Ayu Brahmasari.
Lalu bagaimana cara Ida Ayu Brahmasari membangkitkan perguruan tinggi yang asalnya 20.000 tinggal 3.000 mahasiswa itu? Menurut rektor yang memakai jilbab itu, ada dua langkah yang dia perjuangkan.
Pertama impowering, bagaimana potensi yang ada betul-betul diberdayakan. Jangan sampai ada yang tidak termanfaatkan apa yang ada di dalam itu.
Kedua networking, membangun jaringan. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. “Nah ketika berbagai macam usaha dilakukan, beliau berhasil mengangkat jumlah mahasiswa yang dari 3.000 orang menjadi 12.000 orang, itu sudah lompatan yang bagus,” kata Ustadz Taufiqullah.
“Walaupu di hati saya, oh sek kalah karo Unmuh Malang (UMM),” komentarnya. Maksudnya, kata dia, Muhammadiyah itu sendiri kemampuan mengembangkan perguruan tinggi lebih sukses dibanding perguruan tinggi yayasan. “Termasuk yang yang dicontohkan oleh Asosiasi Pengurus Penyelenggara Perguruan Tinggi itu tadi,” kata Ustadz Taufiqullah.
“Namun ketika Ida Ayu Brahmasari itu menceritakan perjuangannya untuk mengantar Untag itu, yang saya simpulkan dalam hati saya, orang-orang ini betul-betul bertawakal kepada Allah. Itu kesimpulan saya yang sangat kuat,” ungkapnya.
Makna Tawakal
Menurutnya itu adalah bukti nyata tawakal: dari 3.000 mahasiswa melompat ke 12.000 mahasiswa. Dalam bahasa agama, lanjut dia, itu tawakkaltu al i’timad ‘alal ghairi fi amriha, yakni orang yang menyandarkan pada kekuatan lain dalam menyelesaikan dalam suatu urusan. “ Itu kalau secara lughawi,” kata Ustadz Taufiqullah.
Kalau secara istilah, kata dia, tawakal itu bermakna iktimaadu qalbi ‘alallahi ta’ala fi istijladzil maashalih wa tafdhil madzar. Artinya pembuktian hati yang menyandarkan urusannya kepada Allah dalam hal untuk mencari kebaikan atau menolak hal-hal yang membahayakan .
Tiga Hal dalam Tawakal
Ustadz Taufiqullah mengatakan, di dalam bertawakal itu ada 3 hal yang harus kita perhatikan. “Supaya Njenengan bisa mengevaluasi apakah saya ini benar-benar orang yang bertawakkal,” ujarnya.
Pertama, bertawakal itu anna tawakkula ya rab la yunafi ahdal asbab. Bertawakkal itu tidak boleh meninggalkan hal-hal yang menjadi sebab perubahan yang baik. Itu harus dicari.
“Dari 3.000 menjadi 12.000 atau dari 20.000 turun ke 3.000, itu sebabnya apa? Itu harus dicari. Kalau kita ingin mengambil pelajaran dan mempraktikkan tawakal yang benar,” ujarnya.
Kedua, tattahidul asbab wainkaanadz dzaaifatan fi nafsiha, mengejar sebab tadi itu hukumnya harus walaupun dalam keadaan selemah apapun.
“Cohtoh, kita ingin membangun (gedung baru Smamsatu) Rp 62 miliar. Terus kita diam sama sekali, tidak ada upaya apapun yang kita lakukan. Maka tidak ada tawakalnya di situ. Itu tidak akan selesai,” ungkapnya.
Tetapi, sambung ida, selemah-lemah apapun kita berusaha walaupun hanya seribu rupiah yang kita kumpulkan, itu berarti akhdzul asbabi. “Kita sudah mencari bentuk sebab apa yang bisa kita lakukan. Walaupun dalam keadaan lemah,” jelasnya sambil menyitir Alquran Surat Maryam Ayat 25.
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”
Ustadz Taufiqullah menjelaskan, dalam keadaan lemah itu seperti Maryam ketika melahirkan lalu dalam keadaan payah.
“Supaya Maryam bugar kembali Allah tetap memberi perintah,” kata dia sambil menguraikan dengan kalimat bebas, “Segera kamu bangkit dan kamu goncang sendiri. Jangan menunggu orang lain datang dan memberimu kurma.”
Jangan Bersandar pada Sebab
Ketiga, ‘ala ya’tamidhu ‘alaiha, jangan engkau bersandar kepada sebab. “Walaupun sebab harus dicari, jangan bersandar kepada sebab. Sebab, Allah itu menghilangkan sebab,” terang Ustadz Taufiqullah.
Dia menjelaskan, walaupun engkau mempunyai rancangan PPDB (panitia Penerimaan murid baru), PPDB yang kita rancang itu adalah sebab, sebab yang kita konsep.
“Tetapi kalau hanya bersandar pada konsep yang kita buat, lalu tidak menyandarkan kepada Allah, sebab itu bisa tidak berlaku. karena Allah itu yabtiru ayyuhal ilal asbab. Dia bisa merubah sebab itu,” terang dia sambil mengutip Surat Alanbiya Ayat 69. “Kami berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.”
“Ketika Nabi Ibrahim dilempar oleh Raja Namrud ke dalam api, apinya tidak membakar Nabi Ibrahim. Itu karena Allah menghilangkan sebab itu. Mestinya gosong kan Nabi Ibrahim? Tapi karena Allah membuang hukum sebab akibat, maka itu tidak berlaku kepada Nabi Ibrahim,” papar Ustadz Taufiqullah.
Di akhir kultum dia menyimpulkan, “Peristiwa itu bisa kita ambil pelajaran, walaupun kita punya konsep yang hebat, tetapi kita hanya bersandar pada konsep, tidak bersandar kepada Allah, itu bisa tidak berlaku.” (*)
Penulis Estu Rahayu. Editor Mohammad Nurfatoni.