PWMU.CO – Isbal alias pakaian cingkrang masih menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Bagaimana hukum sebenarnya? Berikut kajian ahli hadits Dr Zainuddin MZ LC MA, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits. (Redaksi)
Awalnya penulis terkejut ketika diajak tokoh Salafi mendiskusikan pakaian isbal, yang akhirnya disimpulkan kenapa harus cingkrang? Setidaknya lima kesimpulan yang dipaparkan. Yaitu, pertama afdhal; kedua, muhyi (penegak) sunah; ketiga suci di hadapan Allah; keempat, tidak sombong dan ria; dan kelima, tidak menyerupai wanita.
Ketika penulis tanyakan mana dadilnya bahwa pakaian cingkrang itu yang afdhal? Sama sekali pemakalah tidak dapat menunjukkannya. Itulah sebabnya penulis berani menyampaikan di hadapan para peserta diskusi bahwa yang disampaikan merupakan fatwa yang sesat dan menyesatkan.
Pada prinsipnya umat sepakat pakaian isbal (menjulur) hukumnya haram, walaupun secara eksplisit tidak ditemukan redaksi yang sharih (jelas). Namun adanya berbagai ancaman bagi pelakunya sudah cukup memberikan isyarat haramnya.
Pengertian Isbal
Problem akademik kajian dalam masalah ini adalah bagaimana mendefiniskan pakaian isbal itu sendiri. Apakah harus cingkrang atau masih ada toleran untuk dijulurkan lebih rendah?
Untuk mengkaji lebih detail, tentunya dibutuhkan kajian hadits dengan pemahaman yang komprehensif dan tidak secara parsial. Di sinilah pentingnya kajian hadits secara tematik, sehingga setiap hadits dapat dipahami secara proporsional.
Isbal, dalam kamus al-Muhith dalam contoh asbala izara idza arakha berarti menjulurkan kain hingga nyaruk bumi.
Menurut Ibn Atsir dalam bukunya al-Nihayah fi gharib al-hadits wa l-atsar, al-musbil izarahu adalah orang yang menjulurkan kainnya sampai menyentuh bumi, dengan kata lain menjurai dan melabuhkan pakaian sehingga ujung kain terseret ketika berjalan dan ia melakukannya lantaran kesombongan dan pamer.
Dari definisi di atas dapat dicermati dua hal. Pertama, disebut isbal apabila kain yang dikenakan seorang Muslim tersebut sampai menyentuh bumi. Kedua, adanya unsur kesombongan dan pamer.
Berangkat dari pengertian inilah lahir pemaknaan tabdzir (mubadzir), najasah (najis atau tidak suci), israf (berlebihan) dan tasyabuh (penyerupaan dengan pakaian wanita).
Asbabul Wurud Isbal
Belum lagi bilamana dikaitkan dengan sya’nul wurud atau asbab al-wurud yang dapat dimengerti bahwa pada zaman Nabi, pelaku isbal, berpakaian rangkap, berlebihan dalam surban, berpakaian mencolok (warna merah, kuning dan sejenisnya) merupakan kesombongan, pamer dan keangkuhan yang kesemuanya diancam neraka.
Kecermatan dalam memahami pakaian isbal sangat penting, karena akan muncul pertanyaan apakah pakaian yang di bawah mata kaki namun tidak sampai menempel bumi (nyaruk bumi) tergolong pakaian isbal?
Apakah mereka yang pakaiannya melebihi mata kaki lantaran ada udzur juga tergolong isbal? Sekiranya substansi isbal adalah tidak boleh ada sesuatu (kain) yang menutupi mata kaki, kenapa dibolehkan shalat dengan mengenakan kaus kaki dan sepatu stewel (boot)?
Hadits Pakaian Isbal
Hadits yang menerangkan pakaian isbal diriwayatkan oleh tiga belas sahabat. Yaitu (1) Abu Hurairah, (2) Abdullah ibn Umar, (3) Abu Sa’id al-Khudri, (4) Ibn Abbas, (5) Aisyah, (6) Abu Dzar, (7) Hubaib al-Ghifari, (8) Abu Darda’, (9) Mughirah ibn Syu’bah, (10) Jabir ibn Sulaim, (11) Amr ibn Syarid, (12) Ats’ats, (13) dan Khudzaifah ibn Yaman.
Adapun yang spesifik menjelaskan batasan penjulurannya
Hadits Abu Sa’id al-Khudri
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ أَوْ لاَ جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًالَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
Nabi saw. bersabda: Sarungnya seorang muslim sampai batas tengah betisnya, dan tidak masalah bila dalam batas antara tengah betisnya dan kedua mata kakinya. Maka apa saja yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Hr. Abu Daud: 3570; Ibn Majah: 3563; Ahmad: 10587, 10604, 10826, 10970, 11063, 11489; Malik: 1426.
Hadits Ibnu Abbas RA
قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ شَيْئٍ جَاوَزَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ
Nabi saw. bersabda: Setiap pakaian yang melebihi mata kaki tempatnya di neraka. (Shahih al-Jami’: 4532).
Hadits Khudzaifah bin Yaman
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْضِعُ الْإِزَارِ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ وَالْعَضَلَةِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ السَّاقِ وَلَا حَقَّ لِلْكَعْبَيْنِ فِي الْإِزَارِ
Dinarasikan Khudzaifah, Nabi SAW. bersabda: Batas sarung sampai pada tengah betis dan otot. Bilamana anda enggan maka lebih rendah atau lebih rendah lagi selagi tidak sampai pada kedua mata kaki (yakni dalam pemakaian sarung). Hr. Nasai: 5234; Tirmudzi: 1705; Ibn Majah: 3562).
Dari paparan hadits-hadits tersebut dapat dipahami, pakaian Muslim tidak harus cingkrang. Anda julurkan sampai batas mata kaki juga diperbolehkan.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana sekiranya celana Muslim menutupi mata kakinya namun tidak sampai nyaruk bumi? Dalam bahasa syari’at, batas celana yang diizinkan adalah sampai “mata kaki”. Apakah mata kaki itu sendiri boleh ditutupi kain celana?
Dalam wudhu, batas membasuh tangan adalah sampai batas siku, maka wilayah siku termasuk anggota wudhu yang juga harus dibasuh. Demikian pula membasuk kaki sampai batas mata kaki, maka wilayah mata kaki termasuk anggota wudhu yang juga harus dibasuh.
Bolehkan Mata Kaki Tertutupi?
Dengan paparan seperti ini maka dapatlah dipahami bahwa kebolehan menjulurkan celana sampai batas mata kaki, maka wilayah mata kaki tentunya masih boleh ditutupi.
Ancaman syari’at yang muncul ketika celana tersebut melampaui (melebihi) batas mata kaki atau di bawah mata kaki, apalagi sampai nyaruk bumi. Celana seperti ini sudah jelas masuk kategori berlebihan, ada unsur najasah (tidak suci), tasyabuh (penyerupaan dengan pakaian wanita) bahkan tergolong pelaku pamer dan sombong yang dikutuk oleh Rasulullah SAW.
Bilamana dibidik dari sisi kontekstual dapat dicermati ketika zaman Nabi SAW masih hidup, rata-rata umat hanya memiliki selembar kain. Nasehat Nabi SAW sekiranya kain yang dimiliki sahabat berukuran lebar (longgar) maka dia diperintah Nabi SAW untuk mengikat antara kedua ujungnya pada pundaknya. Namun apabila kain mereka berukuran sempit maka dia diperintah Nabi SAW untuk membebatkannya.
Sahabat Hanya Punya Selembar Kain
Dalam hadits yang masyhur dipaparkan bahwa ada sahabat yang sampai wafatnya hanya memiliki selembar kain yang sempit untuk kain kafannya. Apabila kain kafan tersebut dipergunakan untuk menutupi badan bagian atasnya, maka bagian bawahnya (kakinya) tidak tertutupi.
Apabila kain tersebut untuk menutupi bagian kakinya maka magian kepalanya tidak tertutupi. Hadits ini menggambarkan begitu sulitnya tempo dulu seorang sahabat untuk memiliki lembar kain yang digunakan. Sehingga kalau ada orang yang berpakaian isbal jelas mengandung unsur berlebihan, pamer, sombong dan sebagainya. Walaupun pelaku isbal tidak mempunyai niat pamer akan tetapi umat tentunya tidak salah memvonis dia sebagai pelaku kesombongan.
Pemikiran seperti inilah yang sejalan dengan peringata Allah dalam firman-Nya:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Luqman: 18).
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (Al-Isra’: 37).
Abu Bakar Berpakaian Isbal tapi Tidak Sombong
Hadits yang menjelaskan boleh isbal asal tidak ada unsur kesombongan diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Dinarasikan Abdullah ibn Umar, Nabi SAW. bersabda: Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak melihatnya di hari kiamat. Abu Bakar berkata: Sesungguhnya salah satu ujung pakaianku memanjang dan aku berupaya untuk tetap menjaganya. Maka Nabi SAW bersabda: Anda tidak tergolong orang sombong. HR Bukhari: 3392, 5338; Nasai: 5240; Abu Daud: 3563; Ahmad: 5098, 5553, 5927.
Sungguh indah jika setiap Muslim tidak menilai temannya dengan kaca matanya sendiri. Karena boleh jadi ia berpakaian isbal karena ada udzur.
Dari paparan di atas dapat dicermati bahwa pakaian isbal yang pelakunya diancam oleh Nabi memiliki kriteria menyentuh bumi, kain terseret ketika berjalan, mubadzir, berlebihan, najis (tidak suci), pamer, kesombongan dan penyerupaan terhadap pakaian wanita.
Maka apakah celana yang dipakai Muslim yang menutupi mata kakinya namun tidak sampai nyaruk bumi dan tidak melanggar kriteria-kriteria di atas masih tergolong pakaian isbal yang dikutuk?
Penulis terkesan dengan pernyataan orang arif “Jadi kebiasaan yang terjadi pada suatu kaum dan tidak merupakan kesengajaan untuk sombong dan pamer, maka hal tersebut bukan merupakan isbal.” (*)
Artikel ini dimuat PWMU.CO atas persetujuan Majalah Matan yang kali pertama menerbitkannya.