PWMU.CO – Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, hari-har ini harus bertempur di dua front palagan politik sekaligus. Berikut kolom Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior. (Redaksi)
Satu front, Tri Rismaharini harus mempertahankan kemenangan di benteng Surabaya dalam pilwali 2020 dan front lainnya adalah persiapan pertempuran besar di pemilihan gubernur DKI Jakarta 2022.
Front pertempuran di Surabaya sudah di depan mata, sementara front Jakarta masih dua tahun lagi. Tapi, dua-duanya sama-sama menguras energi politik yang besar. Dua-duanya adalah front besar yang menjadi pertaruhan raksasa untuk menghadapi palagan Bharata Yudha Pilplres 2024.
To be or not to be, meminjam Shakespeare. Ini pertempuran hidup mati bagi Risma sebagai petugas partai PDIP. Kalah di Surabaya akan menjadi bencana, karena stronghold PDIP jatuh ke tangan musuh, karena benteng Jawa Timur sudah tiga periode jebol tidak dikuasai PDIP setelah kalah lagi pada Pilgub 2018.
Ini adalah kekalahan hattrick tiga kali berturut-turut Banteng di Jatim. Sejak era pemilihan langsung PDIP belum pernah menang di Jatim yang diklaim sebagai wilayah merah. Karena itu Surabaya harus dipertahankan all out, dan bila perlu at all cost.
Setelah Hattrick Surabaya, 2020?
Banteng boleh tepuk dada sudah mencetak hattrick kemenangan tiga kali berturut-turut di Surabaya. Tapi, untuk palagan Pilwali 2020 ini Banteng harus ekstra hati-hati karena “cumemu” (cuaca, medan, dan musuh) sudah sangat berubah. Cumemu adalah istilah dalam strategi militer yang sering dikutip oleh almarhum Cak Narto, mantan Wali Kota Surabaya.
Dalam tiga kali kemenangan hattrick itu PDIP memakai pemain asing atau pemain naturalisasi (meminjam istilah sepakbola). PDIP tidak memakai pemain binaannya sendiri, PDIP tidak memakai kadernya sendiri.
Pemain asing itu tak lain ialah Tri Rismaharini, yang pada 2010 dicomot dari birokrasi dan ditandemkan dengan Bambang DH, wali kota petahana yang turun divisi menjadi calon wakil wali kota karena terbentur aturan dua periode.
Ibarat sepeda tandem, Risma cukup duduk manis di boncengan dan tidak perlu ikut susah payah menggenjot pedal. Pasangan itupun melenggang menang. Tapi, tak lama setelah itu Wakil Wali Kota Bambang DH terdepak dan digantikan oleh Wisnu Shakti Buana sampai sekarang.
Dalam kompetisi 2020 kali ini PDIP memakai strategi yang sama. PDIP tampaknya bakal memakai pemain asing lagi dan tidak akan memainkan pemain binaannya senidiri. Sangat mungkin juga PDIP akan menempatkan Risma sebagai calon wakil walikota sebagaimana Bambang DH pada 2010.
Simbol Foto Risma-Eri Cahyadi
Pemain asing yang bakal diturunkan PDIP adalah Eri Cahyadi, protege, binaan Risma, yang sekarang Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya. Eri adalah konfidante Risma dan operator kepercayaan Risma.
Kondisinya sekarang mirip dengan 2010. Untuk memuluskan pencalonan Risma waktu itu PDIP melengserkan Saleh Ismail Mukadar, Ketua PDIP Surabaya yang berambisi menjadi wali kota. Saleh, yang merupakan sohib akrab Bambang DH, tidak mendapatkan rekom dari PDIP. Rismalah yang mendapat rekom dan ditandemkan dengan Bambang DH. Saleh tak berkutik, tidak berani melawan.
Kali ini terjadi lagi. L’histoire se Repete, sejarah berulang. Wakil Wali Kota Wisnu Shakti Buana yang juga ketua PDIP Surabaya, sudah diamputasi satu kakinya, dicopot dari posisi Ketua PDIP Surabaya. Langah ini untuk memuluskan pencalonan Eri Cahyadi.
Akankan sejarah berulang untuk kemenangan Eri Cahyadi? Akankah PDIP menurunkan kartu lama dengan menandemkan Risma sebagai wakil wali kota? Tidak ada hil yang mustahal, karena politik adalah the art of possibility, yang tak mungkin menjadi mungkin dan sebaliknya.
Foto Risma bersama Eri yang bertebaran di banyak sudut kota memperkuat indikasi itu. Spekulasi yang berkembang, Risma akan menjadi wakil wali kota selama dua tahun sampai 2022 untuk kemudian maju ke pilgub Jakarta.
Pertanyaan selanjutnya apakah pasangan turun divisi ini bisa mengulang sukses seperti sebelumnya? Tentu tidak ada yang berani menjamin.
Cumemu sudah sangat berubah. Tidak seperti Saleh—yang tidak berkutik setelah gagal dapat rekom—Wisnu sudah berancang-ancang akan melawan.
Sampai sekarang Wisnu masih “ngarep” dapat rekom PDIP meskipun harapan tipis. Eri pun masih main politik kucing yang malu-malu untuk tampil terus-terang. Kalau rekom PDIP sudah turun barulah peta pertempuran akan makin benderang.
Bagaimana Front Jakarta?
Bagaimana dengan front Jakarta? Masih jauh. Tapi isyarat politik sudah makin mengerucut bahwa Risma bakal ditransfer ke Jakarta dihadapkan lawan Anies Baswedan.
Indikasinya sudah makin terlihat. Salah satunya kasus banjir Jakarta yang kemudian disusul dengan banjir Surabaya beberapa pekan berikutnya. Dua-duanya sama-sama menenggelamkan kota, dua-duanya sama-sama dieksploitasi menjadi banjir politik.
Beberapa media kemudian membandingkan banjir Jakarta yang betah menginap berhari-hari dengan banjir Surabaya yang cuma bertahan tiga jam. Framing-nya adalah membandingkan Risma vs Anies dalam mengatasi banjir. Apakah ini perbandingan apple to apple atau rambutan to duren, entahlah.
Dalam salah satu kesempatan Risma menegaskan tidak berambisi menjadi gubernur, ia menyerahkan kepada Allah SWT. Tapi, pada kesempatan lainnya Risma berkomentar mengenai warga DKI yang pindah ke Surabaya karena terserang penyakit asma akibat polusi udara. Belakangan ketahuan bahwa klaim Risma tidak sepenuhnya akurat.
Ini semacam slip of the tounge, kepeleset lidah, karena tidak sadar ada dorongan Freudian dari dalam yang tak bisa dikontrol. Logikanya bisa dibalik, berapa banyak warga Surabaya yang pindah ke Jakarta mencari kerja, apakah bisa disimpulkan bahwa Surabaya gagal menciptakan lapangan kerja bagi warganya.
Risma juga lupa ada fatsun politik yang harus dijaga bahwa sesama bus kota dilarang saling mendahului. Mengomentari rumah tangga orang lain adalah pelanggaran fatsun politik.
Pertatanyaan hipotetikal yang muncul adalah bisakah Risma menang? Pasti tidak gampang menjawab pertanyaan ini. Tapi, beberapa catatan ini bisa menjadi indikasi awal.
Selama ini Risma praktis tidak pernah bertanding free fight dalam kontestasi politik. Pada periode pertama ia ditandem oleh Bambang DH, dan pada periode kedua ia menjadi inkumben yang sangat populer sehingga tidak ada lawan yang sepadan. Risma tidak pernah menjadi penantang.
Dalam tanding free fight di DKI Risma akan menjadi penantang. Risma harus menghadapi front yang rumit karena harus melawan pasukan di dunia medsos yang sangat brutal. Dibutuhkan mental yang sangat matang, tenang, dan kokoh untuk menghadapi pertempuran semacam ini.
Rekam jejak emosi Risma yang meledak-ledak akan menjadi santapan empuk netizen yang menjadi lawan politiknya. Di sisi lain, ketenangan Anies dan kematangannya dalam menghadapi gempuran medsos sudah sangat teruji.
Beda Jakarta dan Surabaya
Menghadapi medan yang berat dengan pemilih mencapai tujuh juta tentu beda dengan medan dengan pemilih dua juta seperti Surabaya. Dibutuhkan mobilitas dan ketangguhan fisik yang prima untuk menghadapinya. Beberapa waktu belakang ini Risma terlihat rapuh setelah mengalami sakit dan beberapa bulan memakai kursi roda.
Melepas Risma di dua front Surabaya dan Jakarta adalah tindakan penuh risiko. Kondisi Risma terlihat phisically, psichologically, and mentally frail, rapuh fisik, psikologis, dan mental. Orang bermental keras seperti Ahok saja bisa tumbang di Jakarta. Dibutuhkan sosok yang lebih keras dari Ahok untuk menghadapi Anies.
Tetapi, apapun risikonya, duel tanding Anies vs Risma akan sangat menarik. PDIP tentu sudah menghitung risiko itu.
Seperti pepatah Inggris, “A bird in the hand is worth two in the bush”. Mengirim Risma bertarung di dua front sama bisa seperti “mburu uceng kelangan deleg”, dua-duanya bisa lepas. (*)