PWMU.CO – Shalat Jum’at di Salt Lake City, Ibu Kota Negara Bagian Utah, Amerika, terasa berbeda. Disamping tempatnya yang jauh dari kota, Masjid Khadeeja tempat shalat Jum’ah hari ini (22/7) tampak sangat indah. Rasanya inilah masjid terindah yang pernah saya kunjungi selama berkeliling di Santa Barbara, Los Angeles, dan Salt Lake City.
Saat jum’atan di Los Angeles, masjid tempat shalat memang besar dan bertingkat sehingga mampu menampung jamaah sangat banyak. Tetapi masjid di Los Angeles menyatu dengan pertokoan yang disewakan. Masjid di Los Angeles, sebagaimana masjid di Amerika juga menjadi kantor Islamic Center, pusat kegiatan umat Islam sehingga ramai. Sebaliknya masjid di Salt Lake City juga cukup besar dan bertingkat. Bedanya, Masjid Khadeeja lebih indah dan tampak megah.
(Baca: Khatib Jumat yang Ber-HP dan Lempar Humor dan Khatib Harus Sekaligus Jadi Imam?)
Untuk menuju masjid, kami berempat peserta Summer Institute yang Muslim diantar Kelli. Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke masjid. Tetapi perempuan bergelar doktor yang juga dosen di jurusan Religious Studies The University of California, Santa Barbara (UCSB) ini begitu tulus mengantar dan menunggu kami menunaikan shalat Jum’ah. Padahal Kelli beragama Kristen, tepatnya pemeluk Mormonisme. Mormonisme adalah agama yang tumbuh dan berkembang di Amerika pada akhir abad ke-19.
Rasanya, inilah indahnya perbedaan jika dialami orang-orang yang terdidik. Meski berbeda keyakinan, tetapi tidak menghalangi persahabatan. Sungguh benar pernyataan hikmah; ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan di kalangan umatku yang terdidik adalah rahmah). Bayangkan, jika yang beda bukan orang yang terdidik. Perbedaan itu bisa menjadi bencana.
(Baca: Pengalaman Disopiri dan Dipandu Profesor Berusia 80-an Tahun dan Tergolong Mampu, Keluarga Manula Ini Pilih Mandiri tanpa Pembantu)
Yang juga berbeda, khutbah Jum’ah di masjid Khadeeja disampaikan dalam bahasa Arab. Tetapi sebelum khutbah jum’ah dimulai, khotib menyampaikan khutbah dalam arti ceramah keislaman dalam bahasa Inggris. Waktu penyampaian ceramah juga cukup lama, sekitar 30 menit. Mungkin juga itu bertujuan sambil menunggu jamaah penuh.
Begitu waktu Jum’ah masuk, khotib turun dari mimbar. Sempat juga pengumuman dalam rangka pengumuman donasi oleh takmir. Begitu pengumuman usai, khotib naik mimbar kembali dan berkhutbah Jum’ah dalam bahasa Arab. Waktunya pun sangat singkat, layaknya kultum (kuliah 7 menit) untuk dua khutbah. Topik yang disampaikan dalam ceramah keislaman dan khutbah Jumah juga berbeda.
Sementara saat mengimami shalat, khotib membaca surat-surat pendek dalam Al-Quran. Jadi khutbah dan shalat Jumah dilakukan dalam waktu cukup singkat. Selesai shalat, imam langsung memimpin do’a bersama secara jahr (keras) dalam bahasa Inggris.
(Baca: Ternyata Isu Terorisme Tak Pengaruhi Laju Populasi Muslim di Barat dan Musik dan Agama antara Nasrani, Yahudi, dan Islam: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?)
Di Tanah Air, khutbah Jum’ah dalam bahasa Arab tentu bukan sesuatu yang aneh. Di beberapa masjid, tradisi itu masih terjaga hingga kini. Meski harus diakui, praktek khutbah Jum’ah dalam bahasa kini sudah sangat jarang. Orang semakin menyadari betapa penting berkhutbah dengan menggunakan bahasa yang dipahami jamaah.
Karena di Tanah Air mulai ditinggalkan, maka terasa aneh jika di negera sekular seperti Amerika justru ditemukan praktek khutbah Jum’ah dalam bahasa Arab. Tetapi inilah wajah Islam yang ada di penjuru dunia. Meski berasal dari satu ajaran yang sama dari Al-Qur’an dan Hadits, tetapi ternyata berwajah banyak multi faces). Salah satunya bisa diamati dalam praktek shalat Jum’ah di Tanah Air dan sejumlah negara.
Laporan DR Biyanto, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, peserta Summer Institute 2016 di Amerika Serikat