PWMU.CO– Mister Kasimo. Begitu panggilan populer Mohammad Cholil bin Aris Kasimo. Menulis nama pun dia lebih menyukai disingkat MC Kasimo. Dia menjabat ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten/Kota Kediri tahun 1985-1990.
Dia pernah belajar kepada tokoh Muhamamdiyah Malang Bedjo Dermoleksono. Postur tubuhnya gagah, tinggi gempal berotot, berambut pirang, hidung mancung, wajah bersih tanpa jenggot dan kumis. Kalau dicermati mirip bule keturunan Belanda .
Ketika berjalan langkah kakinya tegap. Murah senyum. Suka pergi ke pasar naik sepeda. Sepulang dari pasar membawa kacang goreng untuk camilan. Juga wortel dan tomat untuk jus kesehatan. Di usia senjanya Mister Kasimo masih bisa membaca buku dan Alquran tanpa kacamata.
Dalam setiap ceramahya, dia selalu berpesan agar menjaga shalat. Pasangan suami istri dinasihati supaya rukun.
”Ceramahnya lugas, singkat , to the point, dengan bahasa yang mudah dipahami. Orangnya humoris tapi tidak ikut tertawa. Saudara kita dari NU senang mendengarkan ceramahnya. Dia juga banyak bersedekah dengan sembunyi-sembunyi,” demikian cerita Dr Muhammad Yusron Lc bin Musoffa bin MC Kasimo di rumahnya Desa Lamong Kec. Badas Kab. Kediri, Rabu (22/1/2020).
Mister Kasimo meninggal dunia dalam usia 85 tahun. Tepatnya Jumat sore bakda Ashar tahun 2000. Meninggalkan seorang istri, 7 orang cucu, 19 cicit.
Berawal dari Tugas Dakwah ke Pare
Yusron yang lulusan doktor dari Ma’had I’dad al Aimmah Wadduah Mekkah menuturkan, kakeknya lahir di Temenggungan Malang, 4 Mei 1915. Bungsu dari 7 bersaudara.
Dia menuturkan, Mister Kasimo adalah generasi ketiga pejuang Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan dan KH Bedjo Dermoleksono di Malang.
Sepanjang hidup MC Kasimo untuk melayani umat. Pernah jadi ketua takmir Masjid at-Takwa Kauman Pare (1983-1997) menggantikan Kiai Abdurrahim bin Imam Bukhori. Ketua organisasi kematian Kauman Pare dan juru kampanye PPP.
Dia juga yang meningkatkan status Balai Kesehatan Ibu dan Anak menjadi RS Muhammadiyah Pare. ”Juga perintis SD Muhammadiyah Pare yang sekarang menjadi MIM 1 Pare yang terkenal ini,” kata Yusron.
Menurut cerita, tahun 1946 KH Bedjo Dermoleksono meminta MC Kasimo muda yang menguasai bahasa Belanda dan Arab berdakwah mengembangkan Muhammadiyah di Kota Pare.
MC Kasimo lantas berkenalan dengan tokoh masyarakat setempat seperti perintis Kampung Inggris Ustadz Achmad Yazid, pendiri Panti Asuhan Muhammadiyah Pare (1933) KH Manan, KH Shohib, dan KH Ibrahim. Juga berkenalan dengan dua mubaligh dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta KH A. Soewito dan KH Basoeki Nitirogo untuk siar dakwah Muhammadiyah.
Ada riwayat yang menyebutkan, ketika zaman revolusi MC Kasimo pernah bertemu dengan Jenderal Soedirman saat perjalanan gerilyanya mencapai Kota Pare.
Buka Toko dan Jasa Timbang Beras
Kemudian tahun 1952 MC Kasimo bekerja sama dengan Penerbit Persatoean Jogjakarta mendirikan toko buku Pancaran Jl. Ahmad Yani. Ini toko buku pertama yang berdiri di Pare pada tahun itu.
”Waktu itu masyarakat belum mampu membeli buku. Kebanyakan cuma datang ke toko untuk membaca saja,” tutur Yusron yang juga alumni Al-Khalij Insitute Al-Ahsa’ Mekkah.
Tahun 1970-an MC Kasimo membuka jasa penimbangan beras di toko bukunya. Kapasitas timbangannya sampai 3 kuintal. Pembawa beras datang dari Kecamatan Pare, Puncu, Plemahan, Badas dan sekitarnya.
Sebelum menjual ke pasar mereka menimbang dulu beras dalam karung 1 kuintal yang dibawa dengan sepeda ke tempat timbangan MC Kasimo.
Banyak pelanggan yang datang ke jasa timbangan ini. Tempatnya ini lama-lama juga menjadi perantara bagi warga yang butuh beras dengan penjualnya. Akhirnya banyak juga orang-orang ikutan membuka jasa timbang beras.
Banyak pelanggan yang memanfaatkan jasa ini termasuk warga dan simpatisan Muhammadiyah. Mister Kasimo tak pernah memasang tarif. Uang jasa timbang yang diberikan pelanggan tidak pernah dihitung. Langsung dimasukkan tas.
Sesampai di rumah uang itu langsung diserahkan pada istrinya, Sundusiyah. Tentu setelah dikurangi membeli kacang goreng, tomat dan wortel kesukaannya.
Di sela kerja jasa timbang beras itu dia menyempatkan mengajar Kemuhammadiyahan pukul 08.00 di SMP dan pukul 13.00 mengajar di SMA Muhammadiyah Pare.
Kemudian dia menikah dengan putri Kiai Raden Mas Suparto, Siti Sundusiyah. Dua tahun kemudian dikaruniai dua anak, Likin Pramono dan Siti Baroroh.
Suka Wedang Jahe
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kabupaten Kediri periode 2015-2020 Hj Etik Husnatul Mar’aty mengatakan, MC Kasimo seorang pejuang yang gigih. Tokoh Muhammadiyah yang entengan.
”Setiap diundang ibu-ibu Aisyiyah untuk mengisi kajian selalu hadir, meski banyak kegiatan, walaupun tempatnya jauh dan pada waktu itu transportasi masih sulit,” tuturnya.
Sekretaris PDM Kabupaten/Kota Kediri tahun1985 -1990 Komarudin Dar menambahkan, sosok kepemimpinan MC Kasimo itu jujur, lugas dan tegas. ”Sangat menyayangi generasi muda, sangat sabar, serta telaten dan disiplin waktu dalam memimpin,” katanya.
Dia memberikan contoh, ketika undangan rapat tercantum pukul 08.00, maka tepat pukul tersebut rapat dimulai. Jika kehadiran pimpinan kurang memenuhi kuorum, rapat diskors. ”Ini salah satu contoh untuk generasi mendatang, tentang pentingnya waktu yang berjalan teratur,” katanya.
MC Kasimo juga sosok yang sangat sederhana. Komaruddin menceritakan, sering membawa mobilnya ke Pare untuk menjemputnya waktu ada rapat di Kantor PDM di Jl. Urip Sumohardjo Kota Kediri yang berjarak 40 km.
”Selesai rapat waktu pulang suka ngajak mampir di warung untuk pesan wedang jahe,” paparnya.
Komarudin Dar menyampaikan, MC Kasimo menjadi ketua PDM Kabupaten/Kota Kediri menggantikan ketua PDM sebelumnya Trisno Wardojo. Sebelumnya dia menjabat wakil ketua. Di akhir masa jabatannya, tahun 1990 PDM Kota Kediri berdiri sendiri sehingga Mister Kasimo hanya mengurusi PDM Kabupaten. (*)
Penulis Suparlan Editor Sugeng Purwanto