PWMU.CO – Di mana ada Pak Fasich, di situ pula ada Bu Fasich, sapaan akrab almarhumah Hajah Mughnijah binti Makbul Thohir. Terlebih saat di luar kota, Mughnijah selalu mengiringi perjalanan dakwah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 2000-2005. Kebersamaan itu berakhir seiring dengan kewafatan Mughnijah, Jum’at pagi (22/7).
Banyak cerita keteladanan dari sosoknya sebagai seorang istri dalam mendampingi suami. “Beliau orang di balik layar yang sangat penting atas kesuksesan Pak Fasich,” jelas Nur Cholis Huda MSi, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim semasa diketuai Fasich. Selama 41 tahun mendampingi suami sejak menikah pada 1975, bu Fasich memberi contoh bagaimana memberi support yang terbaik dalam mendampingi suami.
(Baca: Mughnijah, Istri Prof Fasich Meninggal Dunia dan Fasich: Jangan Biarkan Ibumu Berjuang Sendiri)
Sebagai seorang ibu rumah tangga, Mughnijah memang berusaha untuk selalu di samping Fasich. Namun, jangan bayangkan “kebersamaan” dalam aktivitas Fasich itu dalam artian merecoki urusan publik atau pekerjaan yang harus dikerjakan suaminya. Keikutsertaan dia dalam kegiatan suaminya yang pernah mejadi Bendahara PP Muhammadiyah Periode 2005-2010ini lebih pada peran seorang istri sebagai penguat bagi suami.
“Ketika Bu Fasich datang mengikuti Pak Fasich yang rapat di kantor PWM, kita yang di sekretariat menjadi enak. Karena Bu Fasich biasanya juga ikut menyiapkan hidangan rapatnya,” cerita Kepala Kantor PWM Jatim, Chusnul Choliq. Selebihnya, untuk urusan rapat, dia pun tidak mau ikut campur karena memang bukan kewenangannya.
(Baca: Isak Tangis di UNAIR Iringi Jenazah Istri Prof Fasich ke Rumah Duka dan Air Mata Pakde Karwo untuk Prof Dr Fasich)
Mughnijah hanya berperan untuk menguatkan sang suami. Apalagi saat memimpin PWM Jatim, berbagai amal usaha Muhammadiyah di Jatim sedang menjadi sasaran amuk massa. Mughnijah ikut mendampingi Fasich yang harus terjun ke lapangan di berbagai daerah untuk untuk meredam keresahan warga Muhammadiyah.
Romantisme Fasich-Mughnijah semakin membuat iri pasangan suami-istri yang mungkin lebih mud ajika melihat kebersamaannya di meja makan. “Ketika makan pun, hingga usia setua itu pun, keduanya tidak sungkan untuk saling menyuapi layaknya pengantin baru,” tambah Nur Cholis.
(Baca: Ribuan Warga Lepas Kepergian Istri Prof Fasich dan Mengenang H Bisri Ilyas, Saudagar Sukses Bermodal Kejujuran)
“Maka saya merasakan wafatnya Bu Fasich seperti sayap patah sebelah bagi Pak Fasich,” begitu kata Nur Cholis mengibaratkan peran Mughnijah dalam perjalanan hidup rektor Uiversitas Airlangga (Unair)2006-2015 itu. Hal ini bisa dirujuk ketika sang istri dinyatakan koma setelah operasi di RS Unair, 30 Maret lalu, Fasich pun juga langsung ikut menjadi pasien RS yang sama. Selama 115 hari keduanya berdampingan kamar perawatan di RS yang berlokasi di Kompleks Kampus Unair Kampus C itu.
“Bu Fasich adalah ibu panutan, yang taat beragama dan setia mendampingi suami serta berhasil mendidik anak-anaknya,” kata Nadjib Hamid dalam sambutan mewakili keluarga saat pelepasan jenazah di rumah duka Jl. Pucang Asri III/14, Surabaya.
(Baca: Inilah Jumlah Bidang-Luas Tanah Wakaf H Bisri Ilyas dan Kepergian H Bisri Ilyas Semoga Tergantikan Bisri-Bisri Baru)
Nadjib yang mengaku sejak 1996 telah akrab dengan pasangan ini, menyaksikan betapa kuat dan tulusnya kesetiaan almarhumah terhadap suaminya, dan sebaliknya. “Sehingga wajar jika Pak Fasich merasa sangat kehilangan dan terpukul dengan musibah ini,” kata pria yang juga pernah menjadi Wakil Sekretaris Ketika Prof. Fasich Ketua PWM Jatim.
Ia menceritakan, saat Prof. Fasich diperlihatkan wajah terakhir almarhumah yang tampak cerah bersinar, beliau tidak kuat menahan haru dan tangis, sehingga hampir terjatuh. Menggambarkan demikian kuat ikatan kesetiaan dua sejoli ini, seolah mati pun tidak bisa memisahkannya.
“Semoga beliau akan mendapat hikmah dan karunia besar dari Allah swt atas kesabarannya,” kata penulis buku “Mesra sampai Akhir Hayat” itu. Doa kami ikut menyertai… (afiq/iqbal)