PWMU.CO-Perempuan paling rentan jadi korban saat terjadi bencana. Sebab dia berpikir menyelamatkan anak-anaknya lebih dulu dan pengetahuan mitigasi bencana yang terbatas.
Hal itu disampaikan Sekretaris Pimpinan Pusat Aisyiyah Dr Tri Nur Hastuti dalam acara Pertemuan Ilmiah Muhammadiyah Kebencanaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (30/1/2020).
Acara ini diadakan Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) PP Muhammadiyah dihadiri Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan MSi.
”Perempuan 14 kali lebih rentan terhadap bencana dari sisi kerugian, dampak psikologis, dan traumatik. Lebih baik jika perempuan dilibatkan dalam training tanggap bencana. Tidak hanya kaum lelaki saja,” tandas Tri Nur Hastuti yang juga dosen Ilmu Komunikasi UMY.
Dia menambahkan, jika perempuan mempunyai anak yang tidak bisa ditinggal saat menjalani training, bisa saja diberikan fasilitas taman bermain atau area bermain anak.
“Selagi kaum perempuan mengikuti training, anak-anak itu bisa bermain dan masih dalam pengawasan ibunya,” katanya.
Kemampuan Tanggap Bencana
Tri Nur juga menerangkan, kemampuan tanggap bencana seringkali tidak diperhatikan oleh individu karena selalu bergantung pada pemerintah maupun kelompok-kelompok pertolongan bencana.
Melihat banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun, menurut dia, seharusnya kemampuan tanggap bencana juga harus ditingkatkan. Tak hanya dari level profesional Basarnas, BNPB, petugas medis. Juga untuk lapisan masyarakat, terlebih masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Pada kesempatan itu, ia juga memaparkan masyarakat tangguh bencana dari perspektif perempuan dan problematika perempuan dan bencana.
Masyarakat Tangguh Bencana Pertemuan Ilmiah Muhammadiyah Kebencanaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini sempat terlontar perlunya membangun masyarakat tangguh bencana.
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Lilik Kurniawan mengatakan, kemampuan tanggap bencana bisa dimulai dari keluarga melalui Katana alias keluarga tanggap bencana.
Katana itu, sambung dia, sebuah wujud ketika keluarga memutuskan untuk menempati wilayah yang rawan bencana, keluarga tersebut harus paham dan mengerti tentang medan atau kondisi yang ia tempati.
“Dari situlah mereka sadar akan potensi apa saja yang bisa terjadi, kemudian keluarga tersebut akan menjadi keluarga yang berbudaya dan tanggap bencana,” jelas Lilik Kurniawan.
Dalam lingkaran tanggap bencana, MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) berada di posisi mendukung masyarakat sekitar supaya lebih tangguh dalam menghadapi bencana. “Mengingat dari tujuh objek ketangguhan bencana salah satunya adalah pemukiman,” papar Lilik lagi. (*)
Penulis Affan Safani Adham Editor Sugeng Purwanto