PWMU.CO – Ada kampung Islam di Ibukota Kerajaan Majapahit, Trowulan. Kampung ini dibangun tak jauh dari keraton. Kini tempat bermukim orang-orang kauman itu hanya tersisa makam. Paling populer makam Syekh Jumadil Kubro dan Kuburan Pitu.
Hal itu diungkap Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Drs Sugeng Purwanto dalam Latihan Kader (LK) II alias Intermediate Training yang digelar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Koordinator Komisariat Sepuluh November di Gedung Dispendik Jawa Timur Jl. Jagir Wonokromo Surabaya, Selasa (29/1/2020).
Dalam forum Latihan Kader nasional ini dia menyampaikan materi Dampak Penyebaran Islam terhadap Budaya di Indonesia. Peserta berasal dari Surabaya, Pekanbaru, Padang, Semarang, Jember, Kediri, dan Madura.
Dijelaskan, pemakaman itu dikenal dengan Troloyo. Berada di Desa Sentonorejo Trowulan Mojokerto. “Makam ini makin terkenal setelah sering didatangi Gus Dur sewaktu menjadi presiden,” ujarnya.
Jika melihat gambar rekaan keraton Majapahit, maka ada kampung Islam di Ibukota Majapahit di Troloyo berdekatan dengan pintu keraton sisi selatan. Hanya dipisahkan tembok pembatas dengan tempat tinggal para biksu Syiwa dan Budha.
Siapa Syekh Jumadil Kubro?
Makam Syekh Jumadil Kubro menjadi pusat ziarah para pengunjung. Ditutup oleh cungkup yang besar. Di sekitarnya tersebar banyak makam lainnya. Tapi permukaannya sudah dikeramik menjadi tempat lesehan peziarah.
Siapa sosok Syekh Jumadil Kubro, tak ada keterangan dari prasasti atau teks. Antropolog Belanda Martin van Bruinessen menduga kemungkinan nama Jumadil Kubro itu berasal dari Najamudin Kubro atau al-Akbar.
Tapi kalangan sayyid menuliskan keterangan sosok itu bernama Jamaludin al-Husein al-Akbar berasal dari Samarqand. Kuburan ini diduga lebih tua dibandingkan dengan makam Sunan Ampel.
Bahkan ada yang menulis, Syekh Jumadil Kubro ayah dari Ibrahim Asmorokondi yang makamnya berada di Desa Gesik Harjo Kec. Palang, Tuban. Di makam Asmorokondi ini dibuatkan silsilah, Ibrahim ayah dari Sunan Ampel.
Karena itu Syekh Jumadil Kubro disebut punjer para wali yang diperkirakan hidup di awal abad 13 bersamaan dengan pembangunan keraton Majapahit.
Simpang siur soal siapa Syekh Jumadil Kubro itu, menurut lulusan Sosiologi FISIP Unair ini karena kelemahan sumber sejarah Islam. “Kurang catatan. Tak ada naskah kuno maupun prasasti. Yang ada cerita tutur berupa mitos dan simbolik sehingga siapa yang dikuburkan itu banyak spekulasinya,” ujarnya.
Makam Syekh Jumadil Kubro dan Kuburan Pitu
Sugeng Purwanto menambahkan, makam lain yang menjadikan bukti ada kampung Islam di ibukota Majapahit, yaitu Kuburan Pitu. Berada sekitar 200 meter di belakang komplek makam Jumadil Kubro.
“Kuburan Pitu terdiri atas tujuh makam. Di nisannya terdapat tulisan dan angka yang bisa mendeteksi identitas orang yang dikuburkan. Semua nisan di sini terbuat dari batu hitam tapi pahatannya kasar. Sepertinya nisan produk lokal,” ucapnya.
Sangat berbeda dibandingkan dengan nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik dari marmer putih dengan ukiran kaligrafi yang halus. “Nisan Maulana Malik Ibrahim itu impor dari Gujarat India,” ujar Sugeng yang pernah menjadi wartawan Surabaya Post.
Nisan di makam tujuh juga ada ukiran kaligrafi. Maksudnya berbunyi laa ilaha illallah muhammadan rasulullah. Tapi di kalimat tauhid tertulis laa ilaha i allah. Kurang huruf lam alif.
Di nisan itu juga tertera angka tahun Saka. 1397 (1475 M), 1349 (1427 M), 1389 (1467 M), 1329 (1407 M). Paling tua tahun 1407 Masehi. Sedangkan runtuhnya Majapahit itu tahun 1478 Masehi.
“Kalau orang di makam paling tua itu meninggal umur 70 tahunan berarti orang tersebut hidup antara 1337-1407 Masehi berarti hidup di zaman Raja Hayam Wuruk,” ungkapnya. Raja Hayam Wuruk memerintah tahun 1350-1389 Masehi.
Nisan makam itu juga terukir lambang Surya Majapahit. Ada yang bersinar delapan dan sepuluh. Makam dengan tanda ini menunjukkan orang yang di kubur adalah bangsawan dan pejabat kerajaan.
Bukti Makam Islam di Zaman Majapahit
“Jadi di pusat keraton, dalam istana Majapahit sudah ada beberapa pejabat muslim. Tentu saja di luar keraton ada rakyat pemeluk Islam seperti yang tinggal di Troloyo ini,” tandasnya.
Sayangnya, sambung dia, sejarah selalu menuliskan Majapahit seolah-olah semua pejabat dan rakyatnya beragama Hindu. Padahal faktanya ada variasi-variasi pemeluk agama lain.
“Mungkin karena minoritas lantas tidak ditulis dalam Negarakertagama maupun Pararaton,” tuturnya. “Mungkin menurut pujangganya, itu bagian yang tak penting untuk menceritakan kebesaran rajanya.”
“Bahkan tamu-tamu orang asing pun tak dicatat oleh Empu Prapanca. Padahal kalau Majapapahit ini benar-benar kerajaan besar pastinya banyak orang asing yang berkunjung menjadi tamu negara,” tandasnya
Majapahit Kerajaan Islam Versi Herman Sinung Janutama
Peminat sejarah dari Yogyakarta Herman Sinung Janutama membaca inkripsi kaligrafi makam Maulana Malik Ibrahim berani menyimpulkan Majapahit itu sebagai kesultanan Islam.
Sebab di makam itu terdapat penjelasan tentang sosok Maulana Malik Ibrahim yang terjemahan inkripsi berbahasa Arab mulai baris ketiga berbunyi Ini makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai qodhi para sultan dan wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.
“Menurut Sinung kalimat qodhi para sultan dan wazir itu menandakan di Majapahit ada qodhi yaitu jabatan hakim menurut sistem Islam,” katanya Sugeng Purwanto.
Tapi ahli sejarah lain menerjemahkan qodhi sultan sebagai tongkat sultan. Bukan sebagai hakim kerajaan. Sebab Negarakertagama jelas menyebut pengatur agama para Kasoiwan dan Kasugatan. Biksu Syiwa dan Budha.
Artafek kedua adalah koin uang kalimat tauhid dan Surya Majapahit yang dijadikan pegangan Sinung bahwa Majapahit itu muslim. Ahli sejarah lain membantah, zaman Majapahit ada bermacam koin uang seperti bertulis huruf Cina dan huruf Jawa Kuno.
Muslim Penyokong Kerajaan Majapahit
Dari semua data itu, lanjutnya, kemungkinan besar pada masa permulaan Majapahit itu ada penyokong dari orang-orang Islam yang berasal dari kampung sebelah yaitu Jumadil Kubro itu, tidak hanya dari orang Hindu.
“Nah siapa orang-orang dari Syekh Jumadil Kubro tersebut? Banyak yang menafsirkan kalau mereka dari, Samarkan, Maroko dan Yaman. “Kenapa menyebut dari Samarkan? Karena dihubungkan dari satu makam yang berada di Tuban, yang dikenal kuburan Ibrahim Asmorokondi. Dia ini disebut sebagai anak Jumadil Kubro dan ayah Sunan Ampel,” terang Sugeng Purwanto.
Perubahan Budaya setelah Islam Masuk Nusantara
Selain membahas hubungan Islam dengan Kerjaaan Maapahit, Sugeng Purwanto juga menjelaskan pengaruh kehadiran Islam di Nusantara.
Setidaknya ada enam perubahan yang terjadi setelah Islam masuk Nusantara. Pertama, bahasa. “Hampir di setiap kata bahasa Indonesia itu terserap kata Arab seperti badan, rakyat, jual, hakim dan lainnya.
Kedua, huruf. “Huruf Arab menggantikan huruf Jawa Kuno dalam penulisan ilmu pengetahuan, surat, dan sastra. Terutama di kalangan pesantren. Bahkan bahasa Melayu atau Jawa ditulis memakai huruf Arab yang disebut pegon,” katanya.
Ketiga, perkawinan dan budaya. Menurut Sugeng Purwanto, dulu cara mengislamkan orang waktu mau menikah bersyahadat dulu. Doa selamatan diganti cara Islam.
“Harapannya sih setelah syahadat orang yang baru masuk Islam itu shalat, zakat, dan lain-lain. Tapi karena lewat cara ini sebelumnya tidak dikasih pengertian tentang Islam maka lahirlah orang-orang abangan, yang Islam tapi gak shalat dan lain-lain,” terang dia.
Makna Kancing Baju Lima Biji
Keempat, pakaian. Zaman Hindu, pakaian hanya menutup bagaian bawah. Islam lantas mengenalkan pakaian menutup bagian atas. “Sunan Kalijaga mengenalkan pakaian yang kemudian disebut surjan. Pakaian dengan kancing lima biji yang menandakan Rukun Islam. Tiga di bagian dada dan perut melambangkan syahadat, shalat, dan puasa.
Sedangkan dua biji lainnya itu di bagian leher yang melambangkan zakat dan haji yang harus ditonjolkan atau berurusan dengan orang lain.
Pakaian ini yang dulu dipakai untuk kerajaan, kemudian lama-kelamaan berubah menjadi baju takwa atau baju koko yang bahannya lebih murah karena untuk rakyat.
Kelima, kalender. “Di zaman Sultan Agung, kalender Jawa disatukan dengan kalender Hijriyah. Nama bulan dan hari mengikuti Hijriyah tapi angka tahun tetap pakai Saka,” paparnya.
Keenam, pendidikan. “Pada zaman Hindu yang boleh sekolah hanya bangsawan Brahmana dan Ksatria. Namun setelah Islam masuk, sekolah Hindu tersebut menjadi pesantren yang semua murid berasal dari semua kalangan mana pun bisa memperoleh ilmu,” kata Sugeng Purwanto.
Pesantren inilah yang melahirkan ulama yang mendakwahkan Islam kemana-mana hingga menyebar seluruh nusantara. (*)
Kontributor Aqil Rausanfikr Mohammad. Editor Mohammad Nurfatoni.