PWMU.CO – Cerita alumnus SD Muhita dapat beasiswa ke Sudan. Faradilla Awwaluna Muffasya dapat beasiswa pendidikan di Universitas International of Africa Sudan.
Sejak berdiri tahun 1962, keberadaan SD Muhammadiyah 1 Tanggul (Muhita) Jember semakin diterima masyarakat. Banyak alumninya yang melanjutkan ke beberapa jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik di dalam maupun luar negeri.
Melalui pesan WhatsApp Rabu (5/2/2020), Farah—sapaan akrab Faradilla Awwaluna Muffasya—menceritakan pengalaman menyenangkan pernah belajar di SD Muhita.
”Alhamdulillah, apa yang diajarkan guru-guru di SD Muhita sangat membantu saya ketika melanjutkan sekolah di Ar-Rohmah Boarding School Malang. Bekal hafalan Juz 30 memudahkan saya untuk melanjutkan hafalan,” ungkapnya.
Menurut gadis yang berdomisili di Malang itu, ketika teman-temannya sibuk menghafal juz 30, dia hanya tinggal murajaah saja, karena sudah memiliki bekal hafalan al-Quran dari SD Muhita.
Farah juga menceritakan kesannya terhadap guru Bahasa Arab Muhita Nur Sabaha SThI MPdI dalam mengajar. Baginya guru lulusan UIN Kalijaga Yogyakarta itu sering memperkenalkan kosa kata baru dengan menggunakan lagu anak-anak.
“Setelah dari Ar-Rohmah, saya melanjutkan ke Pondok Pesantren Elkisi Mojokerto. Di pesantren inilah saya mendapat kesempatan beasiswa ke Sudan,” tuturnya.
Saat maju untuk ujian beasiswa, cerita alumnus SD Muhita tahun 2013 itu, dia mewakili angkatannya. Dan dia hanya memiliki niatan ingin mencari ridla Allah dan membanggakan kedua orangtua.
“Nah, karena saya mewakili teman-teman seangkatan, maka jika mendapat beasiswa, saya akan berikan kepada teman yang lebih layak menerimanya. Terus terang saya tidak punya impian melanjutkan belajar ke negara di Benua Afrika itu,” cerita Farah.
Kebimbangan Farah ketika Dinyatakan Lolos
Saat pengumuman dan Farah dinyatakan lolos, Syaikh Toyyib, salah satu dosen dari Universitas International of Africa Sudan meminta para peserta yang lolos untuk sujud syukur.
“Saya menangis. Bukan menangis senang, tapi menangis bingung. Saya gak mau ke Sudan ya Allah. tTapi kenapa saya lolos beasiswa itu,” ucap Farah dalam kebingungannya. Dia pun memberitahukan hasil pengumuman itu kepada kedua orang tuanya.
“Orangtua saya begitu senang. Namun saya seperti dihadapkan pada dua pilihan sulit. Di satu sisi saya tidak menginginkan ke Sudan. Di sisi lain ayah sudah membelikan tiket pesawat,” kenangnya.
Teringat akan jerih payah sang Ayah, maka Farah pun membulatkan tekad untuk melanjutkan belajar ke Sudan.
“Ujian selanjutnya adalah saat mengurusi administrasi. Mulai dari KTP, paspor, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Semua saya urus sendiri ditemani saudara sepupu,” ujarnya.
Menurut Farah, memantaskan diri untuk pergi ke Sudan ternyata sangatlah berat.
“Dari anak pesantren yang hidup sebatas lingkungan pondok, kini harus mengurus semua surat sendiri. Bolak-balik ke RT, RW, Desa dan Kecamatan. Dari Malang ke Jember, kemudian ke Surabaya, ke Malang, balik lagi ke Mojokerto, menjadikan pengalaman yang melelahkan,” tutur Farah.
Ternyata ujian yang Farah lalui tidak berhenti sampai di situ. Dia masih harus menunggu Qobul (surat resmi dari Universitas kalau sudah terdaftar sebagai mahasiswa) berbulan-bulan. Hal ini dikarenakan Sudan sedang mengalami konflik.
“Baru pada bulan September, Qobul kami turun. Padahal, itu bertepatan dengan lima hari menjelang ujian di Universitas. Akhirnya begitu sampai di Sudan, saya berfikir ulang,” tandasnya.
Saya berfikir, nggak mungkin saya ikut ujian sementara saya belum begitu mumpuni Bahasa Arab. “Jadi setahun ini saya mengambil kelas pendalaman Bahasa Arab,” cerita Farah melalui perekam suara.
Kehidupan di Sudan
Kehidupan di Sudan menurut Farah masih seperti Indonesia tahun 90-an. Bajaj masih menjadi transportasi utama. Bus umum tidak layak operasi masih sering ditemui di jalanan.
“Maklum lah, Sudan termasuk negara miskin. Akan tetapi di sisi lain, kesederhanaan membawa kenyamanan. Termasuk dalam hal kehidupan beragama. Menjalankan Islam di Sudan tidak mengalami kesulitan,” kata Farah yang sekarang dia memakai cadar pun merasa aman, tak mendapat perlakuan diskriminatif.
“Doakan saya, semoga Allah memberi saya kekuatan untuk menuntut ilmu di Sudan. Mencari bekal ilmu yang bermanfaat,” tulis Farah di WA pada PWMU.CO. (*)
Kontributor Humaiyah. Co-Editor. Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni.