PWMU.CO – Malik Fadjar berkisah Muktamar Muhammadiyah dari masa ke masa. Saat penerapan asas tunggal Pancasila zaman Pak Harto paling kritis. Presiden mau datang kalau sudah jelas siapa ketuanya.
Kisah itu disampaikan oleh Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Prof HA Malik Fadjar MSc saat menjadi keynote speaker pada Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah 2020 di Hall Lantai 9 GKB-4 UMM, Sabtu (8/2/2020).
Malik Fadjar mengisahkan dirinya sudah mengikuti beberapa Muktamar Muhammadiyah. “Saya sudah berumur 81 tahun. Sudah mengikuti muktamar demi muktamar,” ujarnya.
Muktamar ke-35 tahun 1962 dilaksanakan di Jakarta. Muktamar ini memberi makna tersendiri bagi perjalanan Muhammadiyah. “Saat itu harus bergelut dengan paham komunis yang berkembang pesat. Alhamdulillah Muhammadiyah tetap survive,” ungkapnya.
Muktamar ke-36 di Bandung diselenggarakan ketika peralihan dari Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba). Tetapi presidennya masih Ir Soekarno. Presiden akan hadir atau tidak terjadi perdebatan.
Yang hebat Pak Karim dari Universitas Indonesia. Sahabat Bung Karno tapi dekat dengan Muhammadiyah. Dia datang ke Istana Bogor melobi Bung Karno.
“Pak Karno punya acara penting. Tetapi acara Muhammadiyah juga penting. Maka tolong hadirlah,” tirunya.
Maka, cerita Malik Fadjar, kemudian Bung Karno hadir di Muktamar Bandung. “Dulu utusan daerah semuanya naik kereta api. Belum seperti sekarang banyak yang naik pesawat,” kisahnya.
Muktamar Muhammadiyah Paling Kritis
Malik Fadjar berkisah muktamar yang paling kritis adalah Muktamar ke-41 di Surakarta. Harus sampai ditunda dua tahun karena penerapan asas tunggal Pancasila.
“Dan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari dinamika politik bangsa. Sehingga harus dipelajari fase demi fase perjalanan bangsa ini,” pesannya.
Malik Fadjar merasa bangga dengan ketangguhan dan perkembangan Muhammadiyah. “Saya kalau datang ke kampus-kampus Muhammadiyah itu besar-besar semua. Maka jadikanlah muktamar itu lahirnya pikiran-pikiran besar dan jauh ke depan,” harapnya.
Muktamar ke-42 di Yogyakarta, Malik Fadjar dipanggil oleh Menteri Agama saat itu Pak Munawir Sjadzali. “Siapa calon Ketua Muhammadiyah? Ini Pak AR sudah tidak mau,” katanya menirukan Menag.
“Maka harus dijelaskan siapa saja calon ketua umumnya. Uniknya lagi presiden yang membuka acara, tetapi tidak mau hadir kalau ketua umumnya belum jelas,” paparnya disambut tawa hadirin.
Perjalanan muktamar ke muktamar itu unik dan antik, tetapi Muhammadiyah tetap solid. “Tidak ada main-main duit di muktamar Muhammadiyah. Paling hanya kampanye-kampanye wilayah yang dikumpulkan. Dan tidak ada cerita muktamar diperpanjang,” kembali tawa hadirin pun pecah.
Setiap muktamar, sambungnya, selalu bicara isi dari tema. Terlepas nanti realisasinya bagaimana. “Dijalankan atau tidak. Dan ada etika tersendiri di muktamar Muhammadiyah yakni tidak ada walkout,” jelasnya.
Jelang Milad ke-107 Muhammadiyah, lanjut Malik Fadjar, dia mendapat banyak pesan WhatsApp pujian untuk Muhammadiyah. Sebagian besar dari orang luar negeri. “Maka bagaimana kita mengisi dan memajukan Muhammadiyah,” ujarnya.
Isu-isu kontemporer, kata dia, biasanya akan dibahas dalam muktamar Muhammadiyah. Seperti isu lingkungan hidup yang mulai kritis. “Saya teriak-teriak tentang plastik di UMM saat rektornya Prof Muhadjir Effendy. Kemudian budaya literasi juga perlu jadi pembahasan karena kita masih jauh tertinggal,” urainya.
Maka jadikan muktamar Muhammadiyah tempat kita menatap masa depan seperti Mars Sang Surya yang kita nyanyikan bersama tadi. “Jadikan sebagai Muktamar Muhammadiyah yang sukses memasuki era milenium ke-3,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.